SURAT AL-JATSIYAH AYAT 18
Sabtu, 07 September 2019
Syariat adalah
sebuah terminologi yang disebutkan oleh Al-Qur`an yang diturunkan dalam bahasa
Arab. Ia sekaligus menyambungkan sejarah agama-agama yang dibawa oleh para
Rasul dan ditutup oleh kerasulan Nabi Muhammad (asy-Syura: 13). Pengertian
syariat secara bahasa tentunya harus dirujukkan kedalam bahasa Al-Qur`an bukan
kedalam bahasa lokal yang dapat memunculkan penafsiran yang mesum seperti yang
dilakukan oleh Darmo Gandul dan Gatoloco. Secara bahasa ia berarti at-Thariqah.
Melaksanakan syariat artinya mengikuti jalan yang terang. Dari sini, menurut
ar-Rogib al-Asfahani, ungkapan ini dipinjam untuk menjadi thariqah Ilahiyah.
Secara terminologi, thariqah mempunyai dua arti, yaitu :
1. Jalan apapun yang dimudahkan oleh Allah dan
kemudian dilalui oleh umat manusia yang akan membawa efek kemaslahatan bagi
umat manusia serta kemakmuran negeri.
2. Apa saja yang ditentukan Allah dalam agamanya
dan apa saja yang diperintahkan-Nya agar manusia dapat memilih karena adanya
perbedaan syariat-syariat agama karena terjadi nashikh (penghapusan) atas agama
sebelumnya.
Syariat juga
disebut dengan syariat sebab ditamsilkan dengan ungkapan yang berkaitan dengan
syariat air sebab siapa pun yang mereguknya dengan benar maka akan hilanglah
dahaganya dan bahkan dengan air itu ia bisa bersuci. Menurut asy-Syarif
al-Jurjani, syariat berarti tunduk patuh merealisasikan ubudiyah dalam bentuk
melaksanakan seluruh komitmen, menjaga seluruh aturan dan ridha serta sabar
terhadap berbagai cobaan. Adapun Prof. DR. Yusuf al-Qaradhawi mendefenisikan
syariat sebagai apa saja ketentuan Allah yang dapat dibuktikan melalui
dalil-dalil Al-Qur`an maupun Sunnah atau juga melalui dalil-dalil ikutan
lainnya seperti ijma', qiyasdan lain sebagainya.
Agama Islam
melalui kitab sucinya Al-Qur`an menyampaikan beberapa ayat yang secara
eksplisit menyebutkan tentang syariat misalnya dalam surat al-Jatsiyah ayat 18
dan surat asy-Syura ayat 13. Sekalipun ayat-ayat tentang ini berada dalam
kelompok ayat-ayat Makkiyah yang secara prinsip berkaitan dengan masalah
akidah, sehingga nanti datanglah seorang ulama bernama Abu Bakr Muhammad bin
Husain al-Ajuri (wafat pada tahun 360 H) menulis kitab dengan judul Asy-Syariat
yang keseluruhan pembahasan adalah masalah akidah. Tetapi bukanlah berarti cakupan
syariat hanya terbatas pada masalah akidah dalam pengertian yang populer sebab
akidah dalam pengertiannya yang ash-shalah (orisinil) sesungguhnya juga sangat
berkaitan dengan aspek sosial, hukumdan politik. Surat an-Nas, al-Ikhlasdan
al-Kafirun misalnya yang kesemuanya adalah surat-surat Makkiyah tetapi cakupan
akidahnya berkaitan langsung dengan masalah sosial, hukum, ekonomidan
politik.Bahkan, sufi besar al-Hasan Basri pun menyebutkan bahwa hakikat iman
bukanlah sekadar apa yang diangankan dalam hati, tetapi ia sekaligus kebenaran
yang diyakini, diungkapkandan dikerjakan. Dari pengertian tentang syariat di
atas nampak jelas bahwa terminologi syariat dalam pengertian agama mencakup
bukan hanya masalah hukum Islam seperti yang banyak dipahami orang, tidak juga
otomatis berkaitan dengan potong tangan, pemaksaan pemakaian jilbab, atau
mengejar-ngejar orang untuk shalat seperti yang dipahami sebagian pihak
lainnya. Tetapi, ia juga sangat berkaitan dengan masalah lain, seperti masalah
sosial budaya dan pendidikkan. Untuk itulah Prof. DR. Bustanul Arifin, S.H.
telah menyebutkan bahwa syariat adalah metode atau cara menjalankan ad-Din
(agama). Karena ad-Din meliputi seluruh segi kehidupan, maka syariat sebagai
program pelaksanaannya juga meliputi seluruh kehidupan.
Syariat juga
berkaitan dengan pakaian dan asesoris yang dikenakan sebagaimana yang
ditampilkan kajian DR. Muhammad Abdul Aziz Amru dalam kitabnya Al-Libas wa
Zinah fi Syariah al-Islamiyah. Syariat juga berkaitan dengan upaya untuk
merealisasikan kemaslahatan hidup seperti yang disampaikan DR. Sa'id Ramadhan
al-Buthi dalam kitabnya Dhawabith al-Mashlahah fi Syariah al-Islamiyah. Syariat
juga ternyata sangat mementingkan keleluasaan hidup dan menjauhkannya dari yang
menyulitkan sebagaimana yang tampak jelas dalam kajian DR. Shalih bin Abdullah
bin Humaid dalam kitabnya Raf'ul al Haraj fi Syariah al-Islamiyah.
Dalam cakupan
beragama dikenal juga satu bentuk pengamalan agama melalui cara-cara tasawuf.
Dalam terminologi mereka syariat sering dihadapkan dengan hakikat. Suatu
penghadapan yang tidak selamanya diterima oleh ulama taSawuf generasi awal
seperti al-Hujwiri, syariat tidak mungkin bisa dipertahankan tanpa adanya
hakikat dan hakikat tidak mungkin dipertahankan tanpa adanya pelaksanaan
syariat. Hubungan timbal balik keduanya bisa dibandingkan dengan hubungan badan
dan ruh, bila ruh meninggalkan badan maka badan menjadi mayat. Tetapi ruh akan
lenyap seperti angin tanpa badan karena keduanya bergantung pada kerja sama
keduanya satu sama lain. Demikian pula hukum tanpa kebenaran adalah riya' dan
kebenaran tanpa hukum adalah kemunafikan (nifaq). Adapun Imam al-Qusyairi
menyebutkan bahwa syariat adalah disiplin ubudiyah sedangkan hakikat adalah
musyahadah Ilahiyah. Setiap syariat yang tidak dikukuhkan dengan hakikat tidak
bisa diterima. Sebaliknya hakikat yang tidak dilandaskan pada syariat tidak
akan sukses. Perlu diketahui syariat itu sendiri adalah hakikat bila dilihat
bahwa syariat merupakan keharusan melalui perintah-Nya. Begitupun hakikat
adalah syariat dari segi bahwa makrifat kepada-Nya terjadi karena perintah-Nya.
Untuk itulah beliau menukil ungkapan sufi besar seperti Abu Yazid al-Bisthomi
yang mengatakan bila Anda melihat seseorang mengaku diberi karamah, dapat
terbang di udara (misalnya) Anda sekalian jangan mudah tertipu sampai Anda
melihat benar bagaimana orang tersebut melaksanakan perintah, menjauhi
larangan, menjaga hukum-hukum serta menunaikan syariat.
MAKNA YANG TERKANDUNG DALAM SURAT AL-JATSIYAH AYAT 18
Firman Allah dalam surah Al-Jatsiyah ayat 18, yang artinya:
”Kemudian kami jadikan bagiu kamu sebuah syari’ah, maka ikutilah syariah itu, dan jangan kamu ikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui”
Islam sebagai ad-din mengandung ajaran yang komprehensif dan sempurna (syumul).
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek ibadah, tetapi
juga aspek muamalah, juga ekonomi Islam. Al-Qur’an secara tegas menyatakan
kesempurnaan Islam tersebut dalam banyak ayat, antara lain, ( QS. 5:3, 6:38,
16:89).
Kesempurnaan Islam itu tidak saja diakui oleh intelektual muslim, tetapi
juga para orientalist barat, di antaranya H.A.R Gibb yang mengatakan, “ Islam
is much more than a system of theology it’s a complete civilization.”
Berkaitan dengan ayat 18 surat Al-Jatsiyah di atas, maka hal-hal yang
perlu dikaji tentang makna dari ayat tersebut, beberapa di antaranya adalah
sebagai berikut:
Mengapa Kita Beragama?
“Dasar pertama agama (dîn) adalah
mengenal-Nya”.
Perkataan di
atas sangat tepat dan pada tempatnya, mengingat banyak orang yang beragama,
tetapi tidak mengenal agamanya dengan baik. Padahal, mengenal agama seharusnya
berada pada tahapan awal sebelum mengamalkan ajarannya. Tetapi secara realita,
keberagamaan sebagian besar dari mereka tidak sebagaimana mestinya. Dalam
kesempatan ini penulis akan memberikan penjelasan tentang mengapa kita beragama
dan bagaimana seharusnya kita beragama dan bagaimana seharusnya kita beragama? Sehingga kita beragama atas dasar bashirah
(pengetahuan, pengertian dan bukti).
Allah Ta’ala
berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad), inilah jalan-Ku. Aku mengajak
kepada Allah dengan bashirah (hujjah yang nyata).” (Q.S. Yusuf, 108).
Namun, sebelum
menjawab dua pertanyaan di atas, ada baiknya kami terlebih dahulu membicarakan
tentang din itu sendiri.
Apa itu Din?
Dîn berasal dari bahasa Arab dan dalam Al
Quran disebutkan sebanyak 92 kali. Menurut arti bahasa(etimologi), dîn diartikan sebagai balasan dan ketaatan.
Dalam arti balasan, Al Quran menyebutkan kata dîn dalam surat Al-Fatihah
ayat 4, maliki yawmiddîn – “(Dialah) Pemilik (raja) hari pembalasan.“ Demikian
pula dalam sebuah hadis, dîn diartikan sebagai ketaatan. Rasulullah saaw
bersabda, “ad-dînu nashihah (Agama adalah ketaatan).” Sedangkan menurut
terminologi Teologi, dîn diartikan sebagai sekumpulan keyakinan, hukum dan
norma yang akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan manusia, baik di
dunia maupun di akhirat.
Berdasarkan hal di
atas, din mencakup tiga dimensi, (1) keyakinan (akidah), (2) hukum (syariat)
dan (3) norma (akhlak). Ketiga dimensi tersebut dikemas sedemikian rupa
sehingga satu sama lain saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan antara satu
dengan lainnya. Dengan menjalankan din, kebahagiaan, kedamaian dan ketenangan
akan teraih di dunia dan di akhirat. Seseorang dikatakan mutadayyin (ber-dîn
dengan baik), jika dia dapat melengkapi dirinya dengan tiga dimensi agama
tersebut secara proporsional, sehingga dia pasti berbahagia.
Dalam dimensi
keyakinan atau akidah, seseorang harus meyakini dan mengimani beberapa perkara
dengan kokoh dan kuat, sehingga keyakinannya tersebut tidak dapat digoyahkan
lagi. Keyakinan seperti itu akan diperoleh seseorang dengan argumentasi (dalil
aqli) yang dapat dipertahankan. Keyakinan ini pada intinya berkisar pada
keimanan kepada Allah dan hari akhirat.
Adapun syariat
adalah konsekuensi logis dan praktis dari keyakinan. Mengamalkan syariat
merupakan refresentasi dari keyakinan. Sehingga sulit dipercaya jika seseorang
mengaku beriman kepada Allah dan hari akhirat tetapi tidak mengindahkan
syariat-Nya, karena syariat merupakan kewajiban dan larangan yang datang
dari-Nya. Sedangkan akhlak adalah tuntutan akal budi (‘aql ‘amali) yang
mendorong seseorang untuk mengindahkan norma-norma dan meninggalkan
keburukan-keburukan. Seseorang belum bisa dikatakan mutadayyin selagi tidak
berakhlak - “la dîna liman la akhlaqa lahu.” Demikian pula, keliru
sekali jika seseorang terlalu mementingkan akhlak dari pada syariat.
Dari ketiga
dimensi dîn tersebut, keyakinan (akidah) menduduki posisi yang paling prinsip
dan menentukan. Dalam pengertian, bahwa yang menentukan seseorang itu
mutadayyin atau tidak adalah keyakinannya. Dengan kata lain, yang memisahkan
seseorang yang beragama dari yang tidak beragama (atheis) adalah keyakinannya. Lebih
khusus lagi, bahwa keyakinanlah yang menjadikan seseorang itu disebut muslim,
kristiani, yahudi atau lainnya.
Manusia adalah
satu spesies makhluk yang unik dan istimewa dibandîng makhluk-makhluk lainnya,
termasuk malaikat, karena manusia dicipta dari unsur yang berbeda, yaitu unsur
hewani / materi dan unsur ruhani / immateri. Memang, dari unsur hewani manusia
tidak lebih dari binatang, bahkan lebih lemah darinya. Bukankah banyak diantara
binatang yang lebih kuat secara fisik dari manusia ? Bukankah ada binatang yang
memiliki ketajaman mata yang melebihi mata manusia? Bukankah ada pula binatang
yang penciumannya lebih peka dan lebih tajam dari penciuman manusia ? Dan
sejumlah kelebihan-kelebihan lainnya yang dimiliki selain manusia.
Sehubungan ini
Allah swt berfirman, “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.”(QS.
An-Nisa, 28). “Allah telah menciptakan kalian lemah, kemudian menjadi
kuat, lalu setelah kuat kalian menjadi lemah dan tua.” (QS. Rum, 54). Masih
banyak ayat lainnya yang menjelaskan hal serupa.
Karena itu,
sangatlah tidak pantas bagi manusia berbangga dengan penampilan fisiknya,
disamping itu penampilan fisik adalah wahbi sifatnya (semata-mata pemberian
dari Allah, bukan hasil usahanya).
Kelebihan manusia
terletak pada unsur ruhani (mencakup hati dan akal, keduanya bukan materi).
Dengan akalnya, manusia yang lemah secara fisik dapat menguasai dunia dan
mengatur segala yang ada di atasnya. Karena unsur inilah Allah menciptakan
segala yang ada di langit dan di bumi untuk manusia (Lihat surat Luqman ayat
20). Dalam salah satu ayat Al Quran ditegaskan, “Sungguh telah kami muliakan
anak-anak Adam, kami berikan kekuasaan kepada mereka di darat dan di laut,
serta kami anugerahi mereka rizki. Dan sungguh kami utamakan mereka di atas
kebanyakan makhluk Kami lainnya.” (QS. Al-Isra 70).
Unsur akal pada
manusia, awalnya masih berupa potensi (bil-quwwah) yang perlu difaktualkan
(bil-fi’li) dan ditampakkan. Oleh karena itu, jika sebagian manusia lebih utama
dari sebagian lainnya, maka hal itu semata-mata karena hasil usahanya sendiri,
karena itu dia berhak berbangga atas lainnya. Sebagian mereka ada pula yang
tidak berusaha memfaktualkan dan menampakkan potensinya itu, atau memfaktualkannya
hanya untuk memuaskan tuntutan hewaninya, maka orang itu sama dengan binatang,
bahkan lebih hina dari binatang (QS. Al-A’raf 170 dan Al-Furqan 42).
Termasuk ke dalam
unsur ruhani adalah fitrah. Manusia memiliki fitrah yang merupakan modal
terbesar manusia untuk maju dan sempurna. Dîn adalah bagian dari fitrah
manusia.
Dalam kitab Fitrat
(edisi bahasa Parsi), Syahid Muthahhari menyebutkan adanya lima macam fitrah
(kecenderungan) dalam diri manusia, yaitu mencari kebenaran (haqiqat), condong
kepada kebaikan, condong kepada keindahan, berkarya (kreasi) dan cinta (isyq)
atau menyembah (beragama). Sedangkan menurut Syeikh Ja’far Subhani,terdapat
empat macam kecenderungan pada manusia,dengan tanpa memasukan kecenderungan
berkarya seperti pendapat Syahid Muthahhari (kitab al-Ilahiyyat, juz 1).
Kecenderungan
beragama merupakan bagian dari fitrah manusia. Manusia diciptakan oleh allah
dalam bentuk cenderung beragama,dalam arti manusia mencintai kesempurnaan yang
mutlak dan hakiki serta ingin menyembah pemilik kesempurnaan tersebut. Syeikh
Taqi Mishbah Yazdi, dalam kitab Ma’arif Al Quran juz 1 hal. 37, menyebutkan
adanya dua ciri fitrah, baik fitrah beragama maupun lainnya, yang terdapat pada
manusia, yaitu pertama kecenderungan-kecenderungan (fitrah) tersebut diperoleh
tanpa usaha atau ada dengan sendirinya, dan kedua fitrah tersebut ada pada
semua manusia walaupun keberadaannya pada setiap orang berbeda, ada yang kuat
dan ada pula yang lemah. Dengan demikian, manusia tidak harus dipaksa beragama,
namun cukup kembali pada dirinya untuk menyambut suara dan panggilan hatinya,
bahwa ada sesuatu yang menciptakan dirinya dan alam sekitarnya.
Meskipun
kecenderungan beragama adalah suatu yang fitri, namun untuk menentukan siapa
atau apa yang pantas dicintai dan disembah bukan merupakan bagian dari fitrah,
melainkan tugas akal yang dapat menentukannya. Jadi jawaban dari pertanyaan
mengapa manusia harus beragama, adalah bahwa beragama merupakan fitrah manusia.
Allah Ta’ala berfirman, “Maka hadapkanlah wajahmu kepada dîn dengan lurus,
sebagai fitrah Allah yang atasnya manusia diciptakan.” (QS. Rum 30).
Bagaimana Seharusnya Kita Beragama?
Pertanyaan di atas
layak diketengahkan dalam rangka introspeksi diri atas keagamaan kita, sehingga
kita benar-benar beragama sebagaimana mestinya. Karena betapa banyak orang
beragama, namun keberagamaan mereka sekedar warisan dari orang tua atau
lingkungan sekitar mereka. Bahkan ada sebagian orang beranggapan, bahwa agama
hanya sebagai pelengkap kehidupan yang sifatnya eksidental.
Mereka tidak ambil
peduli yang lazim terhadap agama. Karenanya mereka beragama asal-asalan,
sekedar tidak dikatakan tidak beragama. Gejala perpindahan dari satu agama
kepada agama yang lain bukanlah semata karena faktor ekonomi. Bahkan, anggapan
bahwa semua agama itu sama merupakan akibat dari ketidak pedulian yang lazim
terhadap agama. Gejala pluralisme semacam ini menjadi trend abad kedua puluh.
Dalam persepsi
mereka, membicarakan agama adalah suatu hal yang sangat sensitif dan akan
merenggangkan hubungan antara manusia. Agama merupakan sesuatu yang sangat
personal dan tidak perlu diungkap dalam forum-forum umum dan terbuka. Jika
harus berbicara agama pun, maka ruang lingkupnya harus dibatasi pada sisi
peribadatan saja.
Agama telah
dirampingkan, sedemikian rupa sehingga, hanya mengurus masalah-masalah ritual
belaka. Agama jangan dibawa-bawa ke dalam kancah politik, sosial dan ekonomi.
Karena jika agama dibawa ke dalam arena politik dan sosial, maka akan terjadi
perang antar agama dan penindasan atas agama tertentu oleh agama yang berkuasa.
Demikian pula, jika agama diperan aktifkan dalam urusan ekonomi, maka akan
membatasi kebebasan perilaku menimbun kekayaan, karena banyak lampu-lampu merah
dan peringatan-peringatan yang sudah tentu akan menghambat kelancaran bisnis.
Tentu, bagi mereka
yang masih memiliki keterikatan dengan agama akan mengatakan, bahwa pernyataan
di atas relatif kebenarannya. Sebab, boleh jadi pernyataan di atas adalah suatu
kesimpulan dari beberapa kasus sejarah yang parsial dan situasional, bahkan tidak
bisa digeneralisasikan.
Namun bagi kaum
muslimin, pernyataan di atas sama sekali tidak benar, karena secara teoritis
agama Islam adalah pegangan hidup (way of life) yang lengkap dan tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia, baik secara individu maupun kemasyarakatan.
Islam agama yang sangat luas dan fleksibel. Secara praktek hal ini telah
dibuktikan, bahwa dalam sebuah pemerintahan yang menjalankan syariat Islam
dengan baik, kehidupan masyarakatnya baik muslim atau non muslim aman, damai
dan sejahtera, bahkan perkembangan ilmu pengetahuan di dalamnya maju pesat.
Yang menjadi acuan
kita, adalah bagaimana seharusnya kita beragama, agar ajarannya benar-benar
terasa dan mewarnai seluruh aspek kehidupan kita.
Sebagaimana telah telah
diterangkan di atas, bahwa ajaran-ajaran Din terdiri atas tiga macam, yaitu
akidah (keyakinan), syariah (hukum atau fiqih) dan akhlaq. Semuanya harus kita
perhatikan secara proporsional. Di sini penulis akan menjelaskan kembali secara ringkas ketiga jenis ajaran
tersebut.
1. Akidah
Akidah adalah
perkara-perkara yang mengikat akal, pikiran dan jiwa seseorang (Mabani-e
Syenakht, Syeikh Muhammad Raysyahri). Misalnya, ketika seseorang meyakini
adanya satu Dzat yang senantiasa mengawasi gerak-gerik kita, maka keyakinan
tersebut mengikat kita sehingga kita tidak leluasa berbuat sesuatu yang akan
menyebabkan-Nya murka.
Pada dasarnya,
inti dari akidah semua agama, adalah keyakinan akan eksistensi Dzat Pencipta
alam raya ini dan ini merupakan fitrah manusia. Dengan demikian, dari sisi ini semua agama sama,
khususnya agama samawi. Allah Ta’ala berfirman,“Katakanlah wahai ahli kitab,
marilah kita menuju (membicarakan) kalimat (keyakinan) yang sama antara kami
dan kalian.” (QS. Ali Imran : 64).
Namun perbedaan
muncul ketika berbicara tentang siapa pencipta alam raya ini, bagaimana
wujud-Nya, apakah tunggal atau berbilang, atau pertanyaan-pertanyaan lain yang
berkaitan dengan ketuhanan.
Tentu, tidak
mungkin semua agama itu benar dalam memahami Dzat Pencipta. Oleh karenanya,
hanya ada satu agama yang benar dalam memahami siapa dan bagaimana Dzat
Pencipta itu. Lalu bagaimana cara menentukan mana agama yang benar ?
Dalam hal ini,
masing-masing agama tidak bisa membicarakan hal itu menurut kaca matanya
sendiri, baik melalui kitab sucinya atau pendapat para pakarnya. Umat Islam
tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan itu Allah dengan Al Quran maupun Hadis, atau
umat Kristiani dengan kitab Injilnya. Demikian pula umat lainnya.
Berbicara tentang
siapa dan bagaimana Tuhan Pencipta, harus dengan sesuatu yang disepakati dan
dimiliki oleh setiap agama, yaitu akal. Keunggulan dan keberhasilan suatu agama
atau aliran, tergantung sejauh mana dapat dipertahankan kebenarannya oleh akal.
Maka di sinilah perlunya kita mempelajari akidah melalui pendekatan akal, atau
yang sering disebut dengan ushuluddîn, ilmu tauhid dan ilmu kalam (theologi).
Bagaimana kita berakidah atau bagaimana
cara kita mempelajari akidah ?
Ayatullah Muhammad
Rey Syahri dalam kitab Mabani-e Syenakht membagi manusia yang berakidah kepada
dua kelompok, yaitu sebagian orang berakidah atas dasar taqlid dan lainnya
berakidah atas dasar tahqiq. Taqlid ialah menerima pendapat orang tanpa dalil
dan argumentasi (burhan) aqli, sebaliknya tahqiq adalah menerima pendapat
berdasarkan dalil dan argumentasi (burhan) aqli.
Berakidah atas
dasar taqlid, menurut akal tidak dapat dibenarkan. Karena masalah akidah adalah
masalah keyakinan dan kemantapan, sementara taqlid tidak memberikan keyakinan
dan kemantapan. Oleh karenanya, alangkah banyak kalangan awam, dalam masalah
keagamaan, karena satu dan lain hal, pindah agama atau keluar dari agamanya. Al
Quran sendiri, dalam beberapa ayatnya, mengkritik cara berpikir seperti ini,
yang merupakan cara berpikir yang biasa dijadikan alasan oleh orang-orang
musyrik untuk tidak mengikuti ajakan para Nabi. Misalnya, Al Quran mengatakan, “Jika
dikatakan kepada mereka, Ikutilah apa yang Allah turunkan. Mereka menjawab,
Tidak. Akan tetapi kami mengikuti (melakukan) apa yang kami dapati dari
pendahulu kami.” (QS. Luqman : 21).
Selain itu, Al
Quran juga melarang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan, “Dan janganlah
kalian mengikuti apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-Isra : 36). Bahkan
Al Quran menyebut orang yang tidak menggunakan akalnya sebagai binatang yang
paling buruk, “Sesungguhnya binatang yang paling buruk di sisi Allah adalah
orang yang bisu dan tuli, yaitu orang-orang yang tidak berpikir.” (QS. Al-Anfal
: 22) dan ayat-ayat lainnya.
Disamping itu,
terdapat sejumlah Hadis Rasulullah saaw yang menganjurkan umatnya agar beragama
atas dasar pengetahuan. Antara lain Hadis yang berbunyi, “Jadilah kalian
orang yang berilmu atau yang sedang menuntut ilmu, dan jangan menjadi orang
yang ikut-ikutan.” (Kitab an-Nihayah Ibnu Atsir, jilid I hal. 67)
Terhadap apa yang
telah diterangkan di atas, secara ringkas dapat dikatakan, akal diciptakan
sebagai sumber kekuatan manusia untuk mengetahui kebenaran dan kesalahan. Salah
seorang Ma’shumin berkata, “Allah mempunyai dua hujjah (bukti kebenaran),
hujjah lahiriah dan hujah batiniah. Hujah lahiriah adalah para Rasul dan hujjah
batiniah adalah akal.” Sementara itu, para Mutakalimin dan filosof muslim telah
bersusah payah membangun argumentasi-argumentasi rasional yang kuat dan kokoh
tentang pembuktian keberadaan Allah Ta’ala.
Dengan demikian,
kesimpulan yang dapat kita tarik dari keterangan di atas, adalah bahwa dalam
masalah akidah seseorang mesti bertahqiq dengan dalil-dalil akal, dan tidak
boleh bertaqlid.
2. Syariat
Syariat menurut
arti bahasa adalah tempat mengalirnya air. Lalu syariat diartikan lebih luas,
yaitu untuk segala jalan yang mengantarkan manusia kepada maksudnya (lihat
Tafsir Namuneh dan Tafsir Mizan dalam menafsirkan surat Al-Jatsiyah ayat 18).
Dengan demikian,
Syariat Islamiyah berarti jalan yang mengantarkan umat manusia kepada tujuan
Islami.
Setelah seseorang
meyakini keberadaan Allah sebagai Pencipta dan Pemberi kehidupan sesuai dengan
dalil-dalil akal, maka konsekuensi logisnya (bil mulazamah aqliyyah) dia akan
merasa berkewajiban untuk menaati dan menyembah-Nya. Namun sebelumnya, tentu
dia harus mengetahui cara bertaat dan menyembah kepada-Nya, agar tidak seperti
orang-orang Arab Jahiliyah yang menyembah Allah, namun melalui patung-patung
(QS. Az-Zumar : 3).
Mereka, sesuai
dengan fitrah illahiah, meyakini keberadaan Tuhan Sang Pencipta alam raya.
Berkenaan dengan itu, Allah Ta’ala berfirman, “Jika kamu bertanya kepada
mereka, Siapakah yang menciptakan bumi dan langit ? Niscaya mereka menjawab,
Allah.” (QS. Lukman : 25). Kemudian, mereka ingin mengadakan hubungan
dan berkomunikasi dengan-Nya (menyembah-Nya), sebagaimana Allah lukiskan dalam
firman-Nya, “Sebenarnya kami menyembah patung-patung sebagai upaya mendekatkan
diri kami kepada Allah semata.” (QS. Az-Zumar : 3). Meskipun mereka meyakini
keberadaan Allah Ta’ala, namun mereka salah dalam cara mengadakan hubungan dan
berkomunikasi dengan-Nya.
Agar tidak terjadi
kesalahan dalam kontak dan komunikasi dengan Allah, maka kita mesti
melakukannya menurut cara yang dihendaki-Nya dan tidak mengikuti cara yang kita
inginkan. Allah dengan luthf-Nya (upaya mendekatkan hamba pada ketaatan dan
menjauhkannya dari kemaksiatan) mengutus para Nabi dan menurunkan kitab untuk
mengajarkan tata cara menyembah (beribadah). Oleh karena itu, kita mesti
mengikuti bagaimana Rasulullah saaw beribadah, ‘’Shalatlah kalian, sebagaimana
kalian melihat aku shalat.’’
Kaum muslimin yang
menyaksikan Rasulullah beribadah secara langsung, tidak mengalami kesulitan
untuk mengikuti beliau. Namun, bagi kita yang telah dipisahkan dari beliau
dengan rentang waktu yang cukup panjang (lima belas abad), untuk mengetahui
cara beliau beribadah hanyalah dapat dilakukan melalui perantaraan Al Quran dan
Hadis. Dan untuk memahami maksud Al Quran dan Hadis tidaklah mudah.
Menyangkut
Al-Qur’an, Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata, “Kitab Tuhan kalian (berada) di
tengah-tengah kalian. Ia menjelaskan tentang halal dan haram, kewajiban dan
keutamaan, nasikh (ayat yang menghapus) dan mansukh (ayat yang dihapus),
rukhshah dan azimah, khusus dan umum, ibrah dan perumpamaan, mursal (mutlaq) dan
mahdud (muqayyad), muhkam (ayat yang jelas maksudnya)…” (Tashnif Nahjul
Balaghah : 207). Sedangkan mengenai Hadis yang sampai kepada kita, ribuan
jumlahnya dari berbagai kitab Hadis dan tidak sedikit darinya terdapat
pertentangan satu dengan lainnya.
Dengan demikian,
untuk dapat memahami maksud Al Quran dan Hadis, harus terlebih dahulu menguasai
sejumlah disiplin ilmu dengan baik, antara lain Bahasa Arab, Tafsir, Ulumul
Qur’an, Ushul Fiqih, Mantiq, Ilmu Rijal, Ulumul Hadis dan sebagainya.
Orang yang telah
menguasai semua disiplin ilmu tersebut dengan baik, dia dapat ber-istinbath
(meng-interpretasi-kan hukum) secara langsung dari Al Quran dan Hadis
(pelakunya disebut mujtahid). Tetapi orang yang tidak menguasai semua ilmu di
atas dengan baik, maka cukup baginya mengikuti (bertaqlid) kepada hasil
istinbath seorang mujtahid. Dalam masalah akidah taqlid tidak diperkenankan,
sementara dalam masalah syariat taqlid diperbolehkan.
3. Akhlak
Para ulama dalam
mengartikan akhlak umumnya mengatakan, “Akhlak adalah ilmu yang menjelaskan
tentang mana yang baik dan yang buruk, serta apa yang harus diamalkan.” Mereka
membagi ilmu akhlak kepada dua bagian, yaitu akhlak teoritis dan akhlak
praktis. Mempelajari dan mengamalkan akhlak sangat diperlukan, sebagai proses
mencapai tujuan hidup, yaitu kesempurnaan.
0 komentar:
Posting Komentar