Tampilkan postingan dengan label Islamic Articles. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Islamic Articles. Tampilkan semua postingan

POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Minggu, 08 September 2019


POLIGAMI  DAN KAWIN SIRI DALAM PERSPEKTIF
ISLAM DAN KEHIDUPAN SOSIAL
            Saat ini, terutama di Indonesia banyak di antara para suami yang berani secara terang-terangan mengungkapkan keinginannya untuk berpoligami. Fenomena poligami ini merupakan suatu hal yang menarik, mengingat masyarakat kita tidak biasa dengan kebiasaan ini yang notabene merupakan suatu hal yang tabu bagi sebagian orang untuk dilaksanakan.  
Pergeseran kebiasaan ini timbul dengan berbagai alasan atau sebab yang dikemukakan. Kebiasaan poligami ini dirasakan asing bagi sebagian masyarakat kita yang notabene menganut kebiasaan monogami. Sebenarnya ada apa dengan poligami? Mengapa kebanyakan suami berkeinginan untuk berpoligami?
            Banyak para suami ataupun pria yang belum menjadi suami ingin berpoligami dengan alasan diizinkan agama. Selain itu, mereka beralasan bahwa Nabi Muhammad SAW. juga dulu berpoligami. Terlepas dari semua itu, apakah mereka tidak tahu bagaimana keadaan ketika zamannya Nabi Muhammad SAW terdahulu? Apakah para suami itu yakin dengan berpoligami tidak akan menyakiti istri mereka dan mendapatkan ridho dari Alloh SWT?
            Kita semua tentu tidak tahu jawaban-jawaban dari semua pertanyaan itu. Hal itu disebabkan kita tidak tahu secara pasti apa sesungguhnya syarat-syarat dari seorang suami yang menginginkan hidup dengan berpoligami. Selain itu, kita tidak tahu bagaimana perasaan dari setiap orang, sehingga kita tidak tahu apakah seorang wanita benar-benar ikhlas untuk dipoligami atau tidak, atau apakah kita sudah yakin bahwa dalam berpoligami para suami bisa benar-benar adil, bukan hanya adil dalam hal materi, melainkan juga dalam hal rohani. Atau apakah kita sudah yakin poligami yang kita lakukan sudah sesuai dengan yang dilakukan Nabi pada zaman dahulu?
            Rentetan pertanyaan-pertanyaan di atas menjadikan satu renungan bagi kita bahwa berpoligami merupakan suatu hal yang sangat sensitif, karena hal tersebut pasti mempunyai dampak pada kehidupan, khususnya kehidupan keluarga.

A.      Poligami dalam Pandangan Islam
            Beristri lebih dari satu mungkin bagi sebagian orang dirasakan kurang lazim atau tidak biasa. Hal itu bisa difahami karena budaya di negara kita lebih menonjolkan asa monogami dalam rumah tangga.
            Bagi yang tidak biasa seperti budaya kita, beristri lebih dari satu merupakan hal yang asing dan bahkan akan menimbulkan berbagai masalah dalam rumah tangga jika hal tersebut dilakukan. Lebih-lebih bagi seorang istri, jika suaminya mempunyai istri lagi selain dirinya akan merupakan suatu bencana dalam rumah tangga, karena tidak mustahil dengan suami melakukan poligami, perkawinan pertama akan sulit dipertahankan.
            Kalau kita tinjau lebih jauh tentang Poligami dalam pandangan Islam, sedianya hal tersebut tidak dilarang. Poligami dalam Islam merupakan sesuatu yang dibolehkan, yang tentunya dengan berbagai syarat dan pertimbangan, sehingga poligami itu dibolehkan.
            Islam membolehkan poligami bukan berarti tanpa syarat. Adanya poligami disertai beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suami yang akan melakukan poligami. Yang terpenting dari syarat-syarat untuk berpoligami adalah bahwa si suami tersebut mampu memberikan nafkah, baik secara lahir maupun bathin secara adil kepada istri-istri dan keluarganya. Inilah yang mungkin sulit untuk dilaksanakan, mengingat untuk berlaku adil yang bisa diterima oleh semua pihak rasanya sulit.
            Secara singkat dapat dikatakan, bahwa Islam membolehkan adanya poligami dengan berbagai syarat yang harus dipenuhi.

B.   Poligami dan Kehidupan Sosial
            Secara manusiawi, mungkin bagi sebagian orang, khususnya istri, poligami merupakan yang sangat menyakitkan bila hal tersebut menimpa pada kehidupan mereka. Ini bisa difahami, karena mereka (para istri) merasa bahwa poligami akan merenggut kebahagian mereka dalam rumah tangga.
            Dalam kehidupan sosial kita, berpoligami mungkin bisa dikatakan sesuatu yang baru, karena memang masyarakat kita tidak biasa melakukan hal tersebut. Tetapi walaupun begitu, bukan berarti poligami itu sesuatu yang dilarang berkembang dalam kehidupan sosial kita. Kehidupan sosial kita yang kurang begitu permisif terhadap asas poligami, menjadikan poligami itu sesuatu yang tabu untuk dilakukan. Padahal sebenarnya, hal tersebut bisa saja dilakukan dan berkembang dalam masyarakat kita kalau kita memahami apa sebenarnya poligami itu dan bagaimana?
            Sebagaimana disebutkan di atas, poligami boleh dilakukan dengan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh yang akan melakukan poligami. Hal ini merupakan ketentuan yang harus dipenuhi untuk menjaga bahwa keberadaan poligami hanya tuntutan hawa nafsu saja.
            Oleh sebab itu, kita sebagai masyarakat harus memahami dengan sebenarnya apa itu poligami dan bagaimana serta kenapa hal tersebut terjadi agar tidak terjadi masalah dan kesalahfahaman jika hal tersebut dilakukan.

C. Kawin Siri ditinjau dari Sudut Pandang Sosial
            Kawin siri merupakan fenomena yang ada dalam lingkungan kita. Budaya ini sudah dikenal sejak zaman dahulu. Dalam perkembangan selanjutnya, kawin siri sering dilakukan bagi mereka yang ingin menikah dengan tidak melalui lembaga resmi pemerintahan. Oleh sebab itu, muncullah pengertian kawin siri, yaitu kawin agama atau kawin di bawah tangan, artinya tidak melalui catatan sipil atau KUA sebagai lembaga resmi pertikahan.
            Dalam kehidupan sosial kita, kawin siri dilakukan oleh mereka yang tidak mau menjalani berbagai persyaratan yang dirasakan sangat rumit yang diberikan oleh Pemerintah.
            Dalam perkembangan selanjutnya, kawin siri erat kaitannya dengan poligami. Bagi kalangan tertentu, kawin siri ini merupakan satu cara untuk dapat menikah lagi lebih dari satu kali, padahal ia masih punya istri. Hal ini lazim dilakukan dengan berbagai alasan yang mungkin bagi mereka bukan merupakan satu hal yang tabu. Mereka melakukan ini, karena ketika mereka punya keinginan untuk mempunyai istri lebih dari satu, terbentur oleh peraturan yang tidak membolehkan mereka untuk mempunyai istri lebih dari satu.
            Fenomena kawin siri di kalangan tertentu telah terjadi sejak lama. Mereka beranggapan bahwa ia mampu untuk melakukan hal ini, oleh sebab itu bukan merupakan suatu hal yang tabu untuk melakukannya.
            Fenomena kawin siri juga sering terjadi di kalangan masyarakat kita yang kurang mampu secara ekonomi. Perlu diketahui, bahwa untuk biaya menikah diperlukan biaya yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, sebagai upaya untuk menghindari hal-hal yang dilarang oleh agama, maka dalam kehidupan sosial kita tumbuhlah istilah kawin siri.
            Sejatinya kawin siri adalah sesuatu hal yang dibolehkan, karena dalam kawin siri itu sendiri sudah terpenuhi syarat dan rukunnya. Maka kalau sudah terpenuhi segala syarat dan rukunnya, maka syahlah perkawinan tersebut.

D. Kawin Siri dalam Perspektif Keindonesiaan
            Pemerintah Indonesia membuat segala aturan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah untuk ketertiban dan kemudahan kita sebagai rakyat dalam menjalani segala bidang kehidupan. Tidak ada aturan yang dibuat oleh pemerintah kita untuk mempersulit kita. Kalau kita telaah secara seksama, aturan-aturan yang ada adalah untuk kemudahan dan ketertiban kita dalam menjalani hidup.
            Begitu pula dalam hal Pertikahan atau Perkawinan. Pemerintah melalui Departemen Agama telah memberikan aturan untuk ketertiban dan kemudahan dalam hal pertikahan ini.
            Fenomena kawin siri yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, menurut pandangan pemerintah, merupakan suatu hal yang tidak perlu dilakukan, karena hal tersebut akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
            Pemerintah tentunya mempunyai pertimbangan tersendiri kenapa ia mendirikan Departemen yang mengurusi masalah pertikahan. Pertikahan adalah sesuatu yang syakral, yang harus diperhatikan segala sesuatunya dan diurusi dengan sebaik mungkin. Karena alasan itulah, maka pemerintah menghimbau kepada semua rakyat untuk melakukan pertikahan di lembaga pertikahan yang resmi ditunjuk oleh Pemerintah.

E.      Penutup 
            Beristri lebih dari satu merupakan hal yang dibolehkan dalam agama (Islam), tentunya dengan berbagai syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi.
            Poligami sebenarnya merupakan sesuatu yang mulia jika ditinjau dari segi kenapa poligami itu dibolehkan dalam agama Islam. Islam membolehkan poligami bukan berarti tanpa aturan dan syarat. Syarat-syarat tersebut merupakan langkah preventif agar poligami itu dilakukan bukan hanya berdasarkan keinginan hawa nafsu saja. Tetapi yang lebih penting adalah bahwa poligami itu dilakukan atas dasar beribadah kepada Alloh SWT.
            Secara legalitas keagamaan kawin siri merupakan suatu yang dibolehkan sepanjang terpenuhi segala syarat dan rukunnya. Kawin siri ini merupakan suatu yang lebih baik dilakukan untuk menghindari hal-hal yang dilarang oleh agama maupun negara.
            Fenomena kawin siri ini telah menjadi satu budaya dalam masyarakat awam kita, karena hal tersebut akan lebih mudah dilakukan tanpa melalui berbagai persyaratan yang dirasakan sangat berat jika melakukan pertikahan melalui lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah.

Daftar Referensi
Abdullah Abd al-Muhsin az-Zaki, Usûl al-Fiqh Mazhab al-Imâm Ahmad Dirâsat Usûliyyah Muqâranah, cet. 2, Riyadh : Maktabat ar-Riyad al-Hadisah, 1980

Al-‘Alamah Taqiyuddin Ibn Taimiyah, Ahkam al-Zawaj, Beirut: Dar al-Kutub, tt.

Badran Abu al-‘Ainain Badran, Usûl al-Fiqh al-Islamî, (t.t.p : t.n.p, t.t.), hlm. 236

Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Ghufron A. Mas’adi (terj.), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002

ISLAM RAHMATAN LIL 'ALAMIN


ISLAM PENEBAR RAHMAT BAGI ALAM


            Konsepsi Islam yang diturunkan ke dunia ini melalui Nabi Muhammad SAW. merupakan konsep yang diciptakan untuk dijadikan pegangan hidup bagi manusia. Islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Konsep kerahmatan Islam terangkum dalam seluruh ajaran-ajarannya yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW.
            Kata “Rahman” begitu banyak disebutkan dalam Al-Qur’an, bahkan kata “Rahman” ini selalu disebutkan setiap oleh umat Islam ketika mereka beribadah shalat. Selain itu, kata “Rahman” tidak melulu sebatas-batas kata-lata yang diucapkan oleh orang Islam, lebih dari itu, orang Islam selalu berusaha untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan kasih sayang sebagai bentuk pengejawantahan dari kata “Rahman” itu sendiri. Nabi Muhammad SAW. pernah bersabda : “Sayangilah siapa saja yang ada di muka bumi, niscaya Tuhan menyayanginya.”  
            Ibnu Abbas, seorang ahli tafsir awal, mengatakan bahwa rahmat yang dibawa oleh Islam meliputi orang-orang mukmin dan orang-orang kafir. Dalam Al-Quran (QS. 7 : 156) ditegaskan pula bahwa Rahmat Allah itu meliputi segala hal.
            Sebagai pedoman hidup, kitab suci Al-Quran mempunyai posisi yang sangat penting dan terhormat dalam kehidupan masyarakat muslim seluruh dunia, karena Al-Quran merupakan sumber hukum, pedoman moral, bimbingan ibadah, dan doktrin keimanan.
            Al-Quran dan Muhammad Rasulullah SAW. merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu paket yang diutus oleh Allah untuk mengubah segala bentuk kemungkaran yang terjadi dalam peradaban manusia kala itu sampai nanti akhir jaman, yang melintasi dan melewati batas etnis dan wilayah. Al-Quran diturunkan untuk mengubah perilaku dan mindset masyarakat (kala itu) agar berpikir kosmopolitan dan maju. Al-Qur’an juga mengajarkan bagaimana pranata hukum dan keadilan ditegakkan di tengah-tengah masyarakat.
            Dalam konteks Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, Islam telah mengatur tata hubungan menyangkut aspek teologis, ritual, sosial dan humanitas. Dalam segi telogis, Islam memberi rumusan tegas yang harus diyakini oleh setiap pemeluknya. Namun, hal ini tidak tidak dapat dijadikan alasan untuk memaksa non muslim memeluk Islam (la ikraha fiddin). Begitu halnya dalam tataran ritual yang memang sudah ditentukan operasionalnya dalam Al-Quran dan Hadits. Sedangkan dalam konteks sosial, Islam hanya berbicara mengenai ketentuan-ketentuan dasarnya saja, yang penerjemahan operasionalnya secara detail dan komprehensif tergantung pada kesepakatan dan pemahaman masing-masing komunitas.
            Untuk memahami Islam sebagai agama Rahmatan lil ‘Alamin tidak cukup hanya dengan memahami teksnya saja, karena hal tersebut hanya akan memberikan pengertian secara teoritis saja, tidak dalam tataran praktis. Akan tetapi, Islam perlu diterjemahkan dan dipraktekkan ke dalam realitas yang nyata. Dari situlah, maka makna Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin akan dapat dirasakan. Islam Harus menjadi harus menjadi agama yang realistis bagi kehidupan ini sehingga dapat memberi kontribusi yang praktis bagi peradaban. Teks keagamaan tidaklah bersifat normatif, tetapi semestinya ia menjadi spirits dan sumber penyemangat bagi kehidupan. Islam jangan diterjemahkan sebatas teks saja. Teks itu harus diterjemahkan secara rasional dan diaktualisasikan dalam realitas kehidupan sehingga dari teks itu dapat tercipta peradaban kaum muslim yang sesungguhnya.
            Dalam konteks kehidupan dan peradaban muslim kaitannya dengan rahmatan lil ‘alamin, selalu mengembangkan nilai-nilai humanisme dan nasionalisme yang memiliki tiga komponen substansi Islam, yaitu Ukhuwwah Basyariyah atau Insaniyah (persaudaraan antar manusia), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan antar bangsa), dan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan antar umat Islam).
Ukhuwah Basyariyah mengandung arti bahwa seluruh umat manusia, tanpa harus membedakan suku, ras, warna kulit, bahkan agama, adalah saudara yang harus dilindungi dan saling melindungi. Islam mengharamkan penganiayaan terhadap orang lain di luar Islam dan meniscayakan hormat menghormati dan sifat toleransi. Sedangkan ukhuwwah wathaniyah mengandung arti bahwa kerjasama antar bangsa mesti dijalin sebaik mungkin dalam rangka menuju perdamaian dan kesejahteraan dunia. Hubungan bangsa-bangsa ini tanpa membedakan latar belakang agama, suku, ras dan sebagainya. Adapun ukhuwwah Islamiyah mengandung arti bahwa seluruh kaum muslim adalah saudara tanpa membedakan cara pandang keberagamaan, baik itu dalam tataran teologi, hukum maupun spiritualitas.
Ketiga macam ukhuwwah seperti tersebut di atas, harus berjalan dan diwujudkan secara seimbang menurut porsinya masing-masing, tidak boleh saling bertentangan. Ukhuwwah Islamiyah dan Ukhuwwah wathaniyah merupakan landasan dan hal yang fundamental bagi terwujudnya ukhuwwah insaniyah. Melalui tiga dimensi ukhuwwah inilah, Islam rahmatan lil ‘alamin akan terealisasi dalam kehidupan ini.

EVOLUSI MANUSIA

Sabtu, 07 September 2019

EVOLUSI MANUSIA

A.  Latar Belakang
Masalah penciptaan manusia termasuk salah satu pembahasan kuno yang mungkin telah mendapat perhatian dari sejak manusia itu diciptakan. Dengan menilik kitab-kitab samawi beberapa agama seperti agama Yahudi, Kristen, dan Islam, kekunoan pembahasan dapat kita lihat dengan jelas. Makalah ini ingin mengupas sebuah pembahasan komparatif antara ayat-ayat kitab samawi yang menyinggung penciptaan manusia dan teori evolusi. Dengan kata lain, perbandingan antara keyakinan para ahli tafsir dan pengetahuan yang diyakini oleh para ilmuwan ilmu alam tentang tata cara penciptaan manusia. Akan tetapi, kejelasan tentang masalah ini bergantung pada penjelasan yang benar tentang teori pemikiran ini, dan juga pada pemaparan latar belakang sejarah dan sikap-sikap yang pernah diambil dalam menanggapinya. Tujuan asli tulisan ini adalah kita ingin menemukan sumber kehidupan manusia. Apakah seluruh jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan muncul dengan bentuk seperti ini dan dengan karakteristik dan keistimewaan yang independen dari sejak awal mereka diciptakan, dan lalu mereka juga berkembang biak dengan dengan cara yang sama? Ataukah seluruh binatang dan tumbuh-tumbuhan itu berasal dari spicies (naw‘) yang sangat sederhana dan hina, lalu mereka mengalami perubahan bentuk lantaran faktor lingkungan dan natural yang beraneka ragam, dan setelah itu mereka memperoleh bentuk yang lebih sempurna dengan gerakan yang bersifat gradual sehingga memiliki bentuk seperti sekarang ini?
Teori pertama dikenal dengan nama teori Fixisme dan diyakini oleh para pemikir pada masa-masa terdahulu. Sedang teori kedua dikenal dengan nama teori Transformismedan diterima oleh para ilmuwan dari sejak abad ke-19 Masehi. Teori pertama meyakini adanya aneka ragam spicies makhluk yang bersifat independen; artinya manusia berasal dari manusia dan seluruh binatang yang lain juga berasal dari spicies mereka masing-masing. Akan tetapi, teori kedua beranggapan bahwa penciptaan spicies-spicies yang ada sekarang ini berasal dari makhluk dan spicies-spicies yang berbeda.
Para ilmuwan berkeyakinan bahwa teori Evolusi alam natural paling tidak seusia dengan masa para filosof Yunani. Sebagai contoh, Heraclitus meyakini bahwa segala sesuatu senantiasa mengalami proses dan evolusi. Ia menegaskan, “Kita harus ketahui bersama bahwa segala sesuatu pasti mengalami peperangan, dan peperangan ini adalah sebuah keadilan. Segala sesuatu terwujud lantaran peperangan ini, dan setelah itu akan sirna.” Segala sesuatu selalu berubah dan tidak ada suatu realita yang diam. Ketika membandingkan antara fenomena-fenomena alam dengan sebuah aliran air sungai, ia berkata, “Kalian tidak dapat menginjakkan kaki dalam satu sungai sebanyak dua kali.”
Mungkin filosof pertama yang mengklaim teori Tranformisme (perubahan gradual karakteristik dan spicies seluruh makhluk hidup) adalah Anaximander. Ia adalah filosof kedua aliran Malthy setelah Thales. Ia beryakinan bahwa elemen utama segala sesuatu adalah substansi (jawhar) yang tak berbatas, azali, dan supra zaman. Anaximander juga berkeyakinan bahwa kehidupan ini berasal dari laut dan bentuk seluruh binatang seperti yang kita lihat sekarang ini terwujud lantaran proses adaptasi dengan lingkungan hidup. Manusia pada mulanya lahir dan terwujud dari spicies binatang lain. Hal ini lantaran binatang-binatang yang lain dapat menemukan sumber makanannya dengan cepat. Akan tetapi, hanya manusia sajalah yang memerlukan masa yang sangat panjang untuk menyusu pada ibu yang telah melahirkannya. Jika manusia memiliki bentuk seperti yang dapat kita lihat sekarang ini sejak dari permulaan, niscaya ia tidak akan dapat bertahan hidup.
Meskipun teori Evolusi memiliki masa lalu yang sangat panjang, tetapi teori ini tidak memperoleh perhatian yang semestinya dari para ilmuwan selama masa yang sangat panjang. Dengan kemunculan para ilmuwan seperti Lamarck, Charles Robert Darwin, dan para ilmuwan yang lain, teori ini sedikit banyak telah berhasil menemukan posisi ilmiah yang semestinya. Di penghujung abad ke-18 dan permulaan abad ke-19, seorang ilmuwan ilmu alam berkebangsaan Prancis yang bernama Cuvier melontarkan sebuah teori tentang penciptaan makhluk hidup. Ia berkeyakinan bahwa makhluk hidup muncul selama masa yang beraneka ragam dalam tataran geologi. Lantaran revolusi-revolusi besar dan tiba-tiba yang pernah terjadi di permukaan bumi, seluruh makhluk hidup itu musnah. Setelah itu, Tuhan menciptakan kelompok binatang baru dalam bentuk yang lebih sempurna. Periode-periode makhluk selanjutnya juga muncul dengan cara yang serupa. Teori ini dalam ilmu Geologi dikenal dengan nama Catastrophisme; yaitu revolusi besar di permukaan bumi. Ia mengingkari seluruh jenis hubungan kefamilian antara makhluk hidup pada masa kini dan makhluk-makhluk yang pernah hidup sebelumnya.


Di dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa Adam diciptakan oleh Allah dari tanah yang kering kemudian dibentuk oleh Allah dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Setelah sempurna maka oleh Allah ditiupkan ruh kepadanya maka dia menjadi hidup. Hal ini ditegaskan oleh Allah di dalam firman-Nya :
"Yang membuat sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah". (QS. As Sajdah (32) : 7) "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk". (QS. Al Hijr (15) : 26)
Disamping itu Allah juga menjelaskan secara rinci tentang penciptaan manusia pertama itu dalam surat Al Hijr ayat 28 dan 29 . Di dalam sebuah Hadits Rasulullah saw bersabda :
"Sesungguhnya manusia itu berasal dari Adam dan Adam itu (diciptakan) dari tanah". (HR. Bukhari)
Pada dasarnya segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah di dunia ini selalu dalam keadaan berpasang-pasangan. Demikian halnya dengan manusia, Allah berkehendak menciptakan lawan jenisnya untuk dijadikan kawan hidup (isteri). Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam salah satu firman-Nya, yang artinya :

"Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui" (QS. Yaasiin (36) : 36)
Adapun Proses Kejadian Manusia kedua ini oleh Allah dijelaskan di dalam surat An Nisaa’ ayat 1 yaitu :
"Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang sangat banyak..." (QS. An Nisaa’ (4) : 1)
Apabila kita amati proses kejadian manusia kedua ini, maka secara tak langsung hubungan manusia laki-laki dan perempuan melalui perkawinan adalah usaha untuk menyatukan kembali tulang rusuk yang telah dipisahkan dari tempat semula dalam bentuk yang lain. Dengan perkawinan itu maka akan lahirlah keturunan yang akan meneruskan generasinya.
Proses Kejadian Manusia ketiga adalah kejadian semua keturunan Adam dan Hawa kecuali Nabi Isa a.s. Dalam proses ini disamping dapat ditinjau menurut Al Qur’an dan Al Hadits dapat pula ditinjau secara medis. Di dalam Al Qur’an proses kejadian manusia secara biologis dejelaskan secara terperinci melalui firman-Nya :
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia itu dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kamudian Kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik." (QS. Al Mu’minuun (23) : 12-14).

Kemudian dalam salah satu hadits Rasulullah SAW bersabda :
"Telah bersabda Rasulullah SAW dan dialah yang benar dan dibenarkan. Sesungguhnya seorang diantara kamu dikumpulkannya pembentukannya (kejadiannya) dalam rahim ibunya (embrio) selama empat puluh hari. Kemudian selama itu pula (empat puluh hari) dijadikan segumpal darah. Kemudian selama itu pula (empat puluh hari) dijadikan sepotong daging. Kemudian diutuslah beberapa malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya (untuk menuliskan/ menetapkan) empat kalimat (macam) : rezekinya, ajal (umurnya), amalnya, dan buruk baik (nasibnya)." (HR. Bukhari-Muslim).

Ungkapan ilmiah dari Al Qur’an dan Hadits 15 abad silam telah menjadi bahan penelitian bagi para ahli biologi untuk memperdalam ilmu tentang organ-organ jasad manusia. Selanjutnya yang dimaksud di dalam Al Qur’an dengan "saripati berasal dari tanah" sebagai substansi dasar kehidupan manusia adalah protein, sari-sari makanan yang kita makan yang semua berasal dan hidup dari tanah. Yang kemudian melalui proses metabolisme yang ada di dalam tubuh diantaranya menghasilkan hormon (sperma), kemudian hasil dari pernikahan (hubungan sek s ual), maka terjadilah pembauran antara sperma (lelaki) dan ovum (sel telur wanita) di dalam rahim. Kemudian berproses hingga mewujudkan bentuk manusia yang sempurna (seperti dijelaskan dalam ayat diatas).
Ini sangat mengagumkan bagi salah seorang embriolog terkemuka dari Amerika yaitu Prof. Dr. Keith Moore, beliau mengatakan : "Saya takjub pada keakuratan ilmiyah pernyataan Al Qur’an yang diturunkan pada abad ke-7 M itu". Selain itu beliau juga mengatakan, "Dari ungkapan Al Qur’an dan hadits banyak mengilhami para scientist (ilmuwan) sekarang untuk mengetahui perkembangan hidup manusia yang diawali dengan sel tunggal (zygote) yang terbentuk ketika ovum (sel kelamin betina) dibuahi oleh sperma (sel kelamin jantan). Kesemuanya itu belum diketahui oleh Spalanzani sampai dengan eksperimennya pada abad ke-18, demikian pula ide tentang perkembangan yang dihasilkan dari perencanaan genetik dari kromosom zygote belum ditemukan sampai akhir abad ke-19. Tetapi jauh ebelumnya Al Qur’an telah menegaskan dari nutfah Dia (Allah) menciptakannya dan kemudian (hadits menjelaskan bahwa Allah) menentukan sifat-sifat dan nasibnya."
Sebagai bukti yang konkrit di dalam penelitian ilmu genetika (janin) bahwa selama embriyo berada di dalam kandungan ada tiga selubung yang menutupinya yaitu dinding abdomen (perut) ibu, dinding uterus (rahim), dan lapisan tipis amichirionic (kegelapan di dalam perut, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutup/membungkus anak dalam rahim). Hal ini ternyata sangat cocok dengan apa yang dijelaskan oleh Allah di dalam Al Qur’an :
"...Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan (kegelapan dalam perut, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutup anak dalam rahim)..." (QS. Az Zumar (39) : 6).

C.  Aliran-Aliran Teori Evolusi
Lantaran pandangan yang beraneka ragam terhadap struktur alam, para pendukung teori Evolusi Spicies memiliki sikap dan haluan yang sangat beragam. Atas dasar ini, pada setiap penggalan sejarah, banyak hipotesis baru yang dilontarkan untuk menepis teori-teori oposisi. Aliran Lamarckisme, Neo Lamarckisme, Darwinisme, Neo Darwinisme, dan teori Mutasi (perubahan secara tiba-tiba) adalah lima aliran yang mendukung teori Evolusi. Pada kesempatan ini, kami akan menjelaskan setiap aliran pemikiran ini secara ringkas, dan juga meneliti akibat yang telah muncul sebagai konsekuensinya

a.   Lamarckisme
Seperti telah dijelaskan di atas, Lamarck, seorang zoolog berkebangsaan Prancis, ini adalah biologis pertama yang—paling tidak—telah berhasil mengokohkan teori Evolusi berpijak di atas konsep-konsep ilmiah. Ia mendeklarasikan teorinya itu pada tahun 1801 M. dengan menerbitkan bukunya yang berjudul Falsafeh-ye Janevar Shenasi (Filsafat Zoologi). Ia tidak meyakini bahwa undang-undang yang berlaku di alam ini keluar dari kehendak Ilahi yang azali. Tetapi ia berkeyakinan bahwa motor utama penggerak sebuah kesempurnaan adalah sebuah power yang menjadi faktor keterwujudan spicies-spicies yang lebih sempurna melalui kaidah “pemanfaatan dan non-pemanfaatan anggota tubuh”. Menurut Lamarck, setiap makhluk hidup pada permulaannya sangat hina dan sederhana sekali. Lalu lantaran beberapa kausa dan faktor, makhluk hidup itu mengalami evolusi menjadi spicies yang lebih sempurna. Faktor-faktor tersebut adalah lingkungan hidup, pemanfaatan dan non-pemanfaatan anggota tubuh, kehendak, dan perpindahan seluruh karakteristik yang bersifat akuisitif (iktisâbî).
Substansi klaim Lamarck adalah perubahan lingkungan hidup menyebabkan perubahan anggota tubuh. Seekor binatang untuk menjalani kehidupan terpaksa harus memanfaatkan sebagian anggota tubuhnya melebihi anggota tubuh yang lain. Dengan memperkuat fungsi sebagian anggota tubuhnya dan meminimalkan fungsi sebagian anggota tubuh yang lain, ia melestarikan kehidupannya. Dengan kata lain, perubahan kondisi kehidupan menimbulkan kebutuhan-kebutuhan baru. Jika makhluk hidup tidak memperdulikan seluruh kebutuhan itu, maka ia akan musnah. Tetapi jika ia harus memenuhi seluruh kebutuhan itu, maka ia memerlukan anggota tubuh yang sesuai. Dengan demikian, sebuah evolusi dalam struktur tubuhnya akan terjadi. Jika ia memanfaatkan sebagian anggota dalam jumlah yang minimal, maka anggota tubuh itu akan melemah dan kadang-kadang akan musnah. Tetapi jika ia melakukan aktifitas dalam kadar yang maksimal, maka anggota-anggota tubuh baru akan muncul. Pada akhirnya, perubahan-perubahan akuisitif (iktisâbî) ini akan diwarisi oleh generasi-generasi makhluk hidup berikutnya.
Faktor lain evolusi itu adalah kehendak dan keinginan yang dimiliki oleh makhluk hidup. Artinya, ia ingin mengadaptasikan diri dengan lingkungan hidup dan mengatasi seluruh kebutuhan hidupnya. Untuk membuktikan hipotesisnya itu, Lamarck mengajukan analisa tentang mata seekor tikus yang buta, paruh kuat yang dimiliki oleh sebagian burung, lenyapnya kaki ular, memanjangnya leher jerapah, berubahnya kuda dari kondisi karnivora menjadi herbivora, dan contoh-contoh yang lain. Menurut keyakinannya, semua itu terjadi lantaran faktor-faktor yang telah dipaparkan di atas.
b.   Neo Lamarckisme
Teori Noe Lamarckisme muncul ke arena ilmu Biologi berkat usaha keras Gope, seorang ahli Biologi berkebangsaan Amerika. Teori ini sangat serupa dengan teori Lamarck berkenaan dengan evolusi spicies dan peran beberapa faktor penting seperti kondisi lingkungan hidup, pemanfaatan dan non-pemanfaatan anggota tubuh, dan pewarisan karakteristik yang bersifat akuisitif (iktisâbî). Akan tetapi, dalam menanggapi kehendak dan keinginan makhluk hidup untuk mengubah anggota tubuhnya sendiri, teori ini tidak sejalan dengan teori Lamarck. Menurut teori Neo Lamarckisme, makhluk hidup dan tumbuh-tumbuhan mengalami evolusi lantaran pengaruh langsung lingkungan hidup. Generasi-generasi selanjutnya akan mewarisi seluruh perubahan yang bersifat akuisitas ini.
Zeo Frouy Saint Hailler, seorang ahli Biologi berkebangsaan Prancis, juga memiliki pemikiran seperti Lamarck. Ketika bukunya yang berjudul Falsafeh-ye Tashrîh beredar pada tahun 1818 M., banyak sekali protes yang tertuju kepadanya pada paruh pertama abad ke-19.
c.   Darwinisme
Teori ketiga dicetuskan oleh Charles Robert Darwin, seorang ahli Biologi berkebangsaan Inggris. Ia lahir pada tahun 1809 M. Di permulaan usianya, ia menekuni ilmu kedokteran. Setelah itu, ia mempelajari ilmu agama. Akan tetapi, ia tidak pernah memiliki keinginan untuk menekuni bidang ilmu kedokteran dan juga tidak berminat untuk melakukan tugas-tugas seorang pendeta. Oleh karena itu, ketika mendengar bahwa sebuah kapal laut ingin melancong keliling dunia, ia ikut bersama kapal laut itu dengan tujuan untuk menjelajahi jagad raya ini. Ia menjelajahi lautan dan daratan selama beberapa tahun lamanya.[9] Di sela-sela penjelajahan itu, ia melakukan penelitian ilmiah. Ia meneliti tentang tata cara penciptaan dan kondisi tumbuh-tumbuhan dan binatang. Ketika telah kembali ke negaranya, ia merenungkan, memikirkan, dan meneliti seluruh penemuan yang telah dicatat dalam buku hariannya selama dua puluh tahun.[10] Dari konklusi seluruh hasil penelitiannya ini, ia mengambil kesimpulan bahwa teori kuno harus ditinggalkan dan teori baru; yaitu teori Evolusi Spicies, harus diterima. Menurut keyakinannya, seluruh makhluk hidup berubah menjadi bentuk makhluk hidup yang lain lantaran sebuah proses evolusi dan penyempurnaan, dan tidak ada satu makhluk hidup pun yang diciptakan tanpa adanya sebuah mukadimah dan secara mendadak dan tiba-tiba.
Pada tahun 1837 M., Darwin menerbitkan sebuah koran dan memuat buah pemikirannya di koran tersebut secara gradual. Pada tanggal 20 Juli 1854, ia berhasil menamatkan penulisan buku Mansha’-e Anva’ dan menerbitkannya pada tanggal 24 Oktober 1859. Dalam membuktikan teori Tranformisme, Darwin mengajukan riset-riset yang telah dilakukannya tentang embriologi binatang, periode-periode kesempurnaan nenek moyang makhluk hidup sesuai dengan pembuktian fosilologi, dan keserupaan struktur janin manusia dengan ikan dan katak kepada para ahli ilmu Biologi yang hidup semasa dengannya. Ia juga membawakan sebuah bukti bahwa klan manusia masih memiliki hubungan kefamilian dengan klan binatang.
Pada hakikatnya, teori Darwin adalah perluasan cakupan siasat ekonomi klasik terhadap dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan. Buku Malthus, seorang ekonom dan pendeta berkebangsaan Inggris, tentang masyarakat banyak mempengaruhi pemikiran Darwin. Dalam bukunya itu, Malthus ingin membuktikan bahwa masyarakat di muka bumi ini akan bertambah sesuai dengan ketentuan progresi numeral (tashâ’ud-e handasî). Hal ini padahal seluruh fasilitas ekonomi tidak mungkin dapat menjamin seluruh kebutuhan manusia. Atas dasar ini, mayoritas manusia yang hidup dalam sebuah generasi harus musnah lantaran sebuah bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, paceklik, perang, dan lain sebagainya sebelum mereka menggapai usia balig agar keseimbangan antara jumlah masyarakat dan fasilitas ekonomi tersebut terwujud. Menurut sebuah riset, jumlah umat manusia dalam tempo dua puluh lima tahun akan bertambah dua kali lipat. Jika penambahan jumlah penduduk itu tetap berjalan dalam kurun waktu dua abad, maka jumlah penduduk bumi akan mencapai lima milyard.
Di samping buku Malthus, pemikiran dan percobaan-percobaan yang pernah dilakukan oleh Lamarck dan para pemikir yang lain adalah faktor lain yang memiliki pengaruh besar terhadap teori Darwin. Lamarck membagi bumi dan makhluk hidup ke dalam beberapa periode:
1.   Pada periode pertama yang berlangsung selama 2 juta tahun, tidak ada satu makhluk hidup pun yang ada di muka bumi.
2.   Pada periode kedua yang berlangsung selama 1 milyard tahun, bumi hanya dihuni oleh makhluk hidup bersel tunggal dan binatang-binatang laut yang sangat sederhana.
3.   Pada periode ketiga yang berlangsung selama 360 juta tahun, binatang melata yang hidup di dua alam dan tak bertulang punggung muncul di permukaan bumi.
4.   Pada periode keempat yang berlangsung selama 750 juta tahun, binatang mamalia, bangsa ikan, dan burung muncul di permukaan bumi.
5.   Pada periode kelima yang belangsung selama 75 juta tahun, makhluk hidup yang lebih sempurna dan manusia anthropoid muncul di permukaan bumi. Pada era 1 juta tahun terakhir, manusia telah berubah menjadi manusia sempurna yang dapat kita lihat sekarang.
d.   Background  Utama Teori Darwin
Background utama teori Evolusi Darwin adalah beberapa hal berikut ini:
1.   Konsep kausalitas; dalam dunia makhluk hidup, tidak ada satu peristiwa pun yang terjadi tanpa kausa.
2.   Konsep gerak; dunia makhluk senantiasa mengalami perubahan.
3.   Konsep tranformasi kuantitas menjadi tranformasi kualitas; dalam dunia makhluk, seluruh tranformasi kuantitas yang akumulatif (bertumpuk-tumpuk) akan berubah menjadi tranformasi kualitas.
4.   Konsep kekekalan materi dan energi; antara dunia makhluk hidup dan makhluk tak hidup terjadi proses pertukaran materi dan energi. Dalam proses pertukaran ini, tidak ada suatu apapun yang akan sirna.
5.   Konsep antagonisme; setiap partikel dari dunia makhluk hidup dan begitu juga keseluruhan dunia tersebut senantiasa memiliki antagonis yang menganugerahkan identitas kepadanya. Proses antagonik dan kontradiksi adalah faktor utama gerak dan pencipta kontradiksi-kontradiksi baru.
6.   Konsep kombinasi; seluruh antagonis yang ada di dunia makhluk hidup selalu berada dalam konflik. Tapi akhirnya seluruh antagonis itu akan berpadu. Dari perpaduan ini, muncullah sebuah kombinasi baru di dunia wujud, dan kombinasi baru ini juga memiliki antagonis.
7.   Konsep negasi dalam negasi; setiap sistem, baik berupa organisme individual, spicies, genus, klan, dan lain sebagainya adalah sebuah realita nyata yang akan sirna di sepanjang masa lantaran konflik yang terjadi antar antagonis. Tempat realita itu diambil alih oleh realita nyata baru yang ia sendiri akan sirna pada suatu hari. Hasil dari negasi dalam negasi ini adalah proses tranformasi.

D. Darwin dan Manusia
Darwin berkeyakinan bahwa perbedaan antara manusia dan binatang, baik dari sisi postur tubuh maupun kejiwaan, hanya bersifat kuantitas. Ia tidak meyakini adanya perbedaan kualitas antara kedua makhluk ini. Atas dasar ini, perasaan, pemahaman rasional, naluri, keinginan, rasa cinta dan benci, dan lain sebagainya juga dimiliki oleh binatang-binatang hina dalam bentuk yang sangat primitif dan kadang-kadang pula dalam bentuk yang sudah sempurna. Darwin bersiteguh bahwa nenek moyang manusia yang berkaki empat pada mulanya berdiri dengan menggunakan dua kaki belakangnya, tetapi tidak secara sempurna. Realita ini adalah permulaan ditemukannya makhluk hidup berkaki dua. Pertikaian untuk kekal dan perubahan kondisi lingkungan hidup memiliki peran yang sangat penting dalam evolusi manusia. Dalam perubahan kera berbentuk manusia menjadi manusia, Darwin menegaskan bahwa faktor geografis dan ekonomis memiliki saham yang sama. Penjelasannya adalah berikut ini:
1.   Evaluasi Teori Darwin
Sampai di sini jelas bagi kita bahwa teori Evolusi Darwin betumpu pada enam dasar. Bangsa binatang dengan perubahan lingkungan hidup yang dialaminya, pertikaian untuk kekal, penggunaan sebagian anggota tubuhnya dan penon-fungsian sebagian anggota tubuh yang lain, mengalami perubahan fisik. Dengan pilihan natural, ia memiliki hal-hal yang sesuai dengan tubuhnya dan membuang hal-hal yang tidak sejalan dengan kondisi fisiknya. Akhirnya, perubahan-perubahan akuisitif ini melalui jalan waris-mewarisi di sepanjang perjalanan hidup menyebabkan evolusi di dunia makhluk hidup. Sekarang kita menghadapi dua pertanyaan di bawah ini:
-     Apakah seluruh perubahan biologis yang dialami oleh binatang di sepanjang perjalanan hidupnya ini dapat diinterpretasikan dengan teori evolusi?
-     Jika terdapat kejanggalan-kejanggalan dalam teori evolusi, apakah ada sebuah teori lebih unggul yang telah dijadikan sebagai penggantinya atau belum?
 Perlu kami ketengahkan di sini bahwa di dunia Eropa, di samping para rohaniawan dan pendeta seperti Hansloe, Sajwick, dan Violle, juga terdapat beberapa ilmuwan yang memiliki kedudukan penting di universtas serta juga memiliki karya dan pengaruh yang sangat besar dalam bidang ilmu biologi menentang teori Darwin. Para ilmuwan kenamaan seperti Louis Agasser (embriolog), Richard Oven (paleontolog), Charles Arsent Birre, dan George Miawart (dua zoolog berkebangsaan Inggris) adalah para penentang teori Darwin yang sangat getol. Pada kesempatan ini, kami akan menyebutkan beberapa kejanggalan yang terdapat dalam teori Darwin.
Pertama, sebuah teori ilmiah dipandang dari sisi logika adalah sebuah kaidah universal yang menjelaskan sebuah sistem yang terjadi secara berulang-ulang dan bersifat abadi. Kedua, berdasarkan kaidah tersebut, prediksi sebuah peristiwa dan juga interpretasinya dapat dipahami dengan mudah. Ketiga, ketidakbenaran sebuah kaidah ilmiah dapat dipahami melalui pengalaman. Atas dasar ini, statemen-statemen parsial dan realita di alam nyata seperti “matahari adalah sebuah planet yang sangat panas” dan “Napeleon mengalami kekalahan dalam perang Watherloe”, serta premis-premis yang tidak bisa dieksperimen keluar dari ruang lingkup kaidah ilmiah. Ketika menjelaskan program universal dan kaidah umum kebinasaan dan kekekalan makhluk hidup di medan sejarah, Darwin menegaskan bahwa di masa, tempat, dan iklim tertentu, sekelompok binatang yang tidak memiliki kelayakan untuk kekal akan binasa dan sekelompok binatang yang memiliki kelayakan untuk kekal akan kekal.
Sekarang, jika kita bertanya binatang manakah yang akan kekal? Jawabannya adalah binatang yang lebih layak. Jika kita bertanya binatang manakah yang lebih layak? Jawabannya adalah binatang yang akan kekal. Hasilnya, binatang yang akan kekal adalah binatang yang akan kekal. Jelas, realita ini adalah sebuah sirkulasi logika (dawr mantiqi) yang tersembunyi dalam teori pilihan natural dan kekekalan makhluk yang lebih pantas. Tidak ada tempat pelarian dari sirkulasi ini.
Atas dasar ini, teori pilihan natural selalu abstain berkenaan dengan liku-liku dan arah peristiwa yang akan terjadi. Jika manusia tidak terwujud dalam mata rantai sebuah evolusi, niscaya teori pilihan natural akan menafsirkan bahwa tidak ada jalan lain; situasi dan kondisi tidak membantu. Jika sebuah makhluk hidup yang bernama manusia terwujud secara aksidental sekalipun, maka teori ini akan menjustifikasi kekekalan manusia itu berdasarkan kelayakan dan kemampuan yang ia miliki untuk menyelaraskan diri dengan lingkungan hidup. Dengan demikian, mekanisme teori pilihan natural akan memberikan jawaban yang sama dalam menghadapi setiap peristiwa dan tidak akan menampakkan sebuah sensitifitas berkenaan peristiwa apapun. Konsekuensinya adalah teori ini tidak bersifat ilmiah, karena sebuah kaidah ilmiah harus memiliki kemampuan dalam menunjukkan presdiksinya.
Jika teori Evolusi adalah sebuah teori yang bersifat universal, maka mengapa hanya sebagian binatang yang berubah menjadi spicies binatang yang lain, padahal sebagian yang lain dari binatang yang sama dan di daerah yang sama pula tetap berbentuk seperti sedia kala? Sebagai contoh, dalam sejarah perkembangan biologis, mengapa sebagian kera telah berubah menjadi manusia, sementara kera-kera yang lain tetap berupa kera seperti sedia kala?
Teori perpindahan sifat-sifat akuisitif kepada generasi-generasi yang akan datang melalui jalan waris-mewarisi sebagai salah satu pondasi teori Lamarck dan Darwin telah berhasil dibatalkan oleh para ilmuwan embriolog pada masa kini. Dalam berbagai eksperimen, mereka melakukan penelitian atas berbagai kasus seperti penderita penyakit yang terpotong salah satu anggota tubuhnya, penggunaan dan non-penggunaan anggota tubuh, dan pendidikan serta pengajaran selama dua puluh dua generasi. Akan tetapi, mereka tidak pernah sampai pada kesimpulan adanya perpindahan sifat-sifat akuisitif tersebut. Lebih penting dari itu, khitan anak laki-laki yang dilakukan oleh muslimin dan para pengikut agama Kalimi dan telah berlanjut selama berabad-abad adalah contoh eksperimen paling jitu yang hingga sekarang belum berubah menjadi sebuah warisan secara turun-temurun. Dengan kata lain, hanya perubahan-perubahan yang terdapat dalam sel-sel s ek sual dapat berpindah kepada generasi-generasi mendatang.
 Darwin sangat memberikan perhatian khusus terhadap unsur pertikaian untuk kekal. Padahal hubungan antar makhluk hidup tidak hanya terbatas pada perang dan pertikaian. Banyak sekali bentuk saling tolong-menolong dan gotong royong yang terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Teori Darwin lebih menitikberatkan pada bukti-bukti penemuan paleontologis, embriologis, dan anatomi komparatif. Semua bukti itu hanya bersandarkan pada prasangka yang tidak dapat mendatangkan keyakinan dan hanya bersifat parsial. Atas dasar ini, teori ini tidak dapat dipopularisasikan sebagai sebuah teori ilmiah. Hanya keserupaan yang dimiliki oleh janin-janin binatang atau perbandingan beberapa unsur binatang dan keserupaan yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut tidak dapat dijadikan sebagai bukti atas keilmiahan sebuah teori. Menurut hemat kami, pondasi dan pilar-pilar teori Darwin tidak mampu untuk menginterpretasikan banyak hakikat seperti naluri, ilham, akal, dan lain sebagainya, meskipun ia sendiri bersikeras ingin membuktikan kemampuan teorinya dalam hal ini.
 Darwin meyakini bahwa perbedaan antara perasaan manusia dan kera yang berupa manusia hanya bersifat kuantitas. Padahal jika kita meneliti seluruh periode belajar, perkembangan, dan stimulasi dengan jeli, niscaya perbedaan kualitas antara dua makhluk ini sangat jelas dan gamblang. Dengan kata lain, perbedaan kuantitas yang dimiliki oleh kedua makhluk ini menjadi sumber kemunculan sebuah perbedaan kualitas.
2.   Neo Darwinisme
Teori keempat dari teori Evolusi adalah teori Neo Darwinisme. Teori ini dibangun oleh August Wisman, seorang zoolog berkebangsaan Jerman. Ia mengkritik dan mengingkari adanya perpindahan sifat-sifat akuisitif kepada generasi-generasi berikutnya. Akan tetapi, ia mengklasifikan sel-sel makhluk hidup dalam dua kategori: (a) sel Germin (s ek s) dan (b) sel Soma (anatomi). Kemudian, dengan mencetuskan teori Plasma Janin (Plasma Embryogenique) dan bahwa materi itu hanya dimonopoli oleh sel-sel se ks ual, ia berhasil menafsirkan tata cara perpindahan sifat dan karakteristik kepada generasi-generasi berikutnya. Ia menamakan materi ini dengan Materi Patrimonial.
3.   Teori Mutasi (Perubahan Secara Tiba-Tiba)
Teori Mutasi adalah teori kelima dari sekian teori Evolusi. Terori ini meyakini bahwa perubahan gen yang terjadi dengan tiba-tiba dan sekaligus menyebabkan perubahan yang bersifat patrimonial dalam diri spicies. Evolusi tumbuh-tumbuhan dan binatang terjadi melalui cara ini. Dengan bersandar pada teori ini, para ilmuwan dapat menjustifikasi dan menafsirkan evolusi yang terjadi pada berbagai spicies dengan lebih baik.
 Teori ini dicetuskan oleh Hugo Deoufris, seorang botanis berkebangsaan Belgia. Teori ini mengklaim bahwa sebagian biji tumbuh-tumbuhan, meskipun memiliki keserupaan yang sempurna dengan spicies-spiciesnya, mengalami perubahan spicies dan karakteristik. Perubahan ini terjadi dengan tiba-tiba, sekaligus, dan tanpa terpengaruh oleh situasi dan kondisi yang terjadi di sekitar lingkungan hidup. Perubahan ini akan berpindah kepada generasi berikutnya melalui jalan gen. Dari sejak ilmu genetika berkembang pesat dikalangan para penggandrungnya, teori Mutasi sebagai sebuah teori ilmiah menjadi pengganti seluruh teori yang lain.

E.  Efek dan Pengaruh Teori Darwin
Pandangan dan pemikiran Darwin, seperti persepsi dan teori Newton, memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap dunia pemikiran yang berkembang di dunia ini. Dengan mencetuskan teori naturalistis dan interpretasi vehikularnya terhadap dunia biologis, Newton telah berhasil mengubah Monoteisme yang bersandarkan pada ajaran wahyu menjadi Monotoisme Naturalis atau Deisme. Darwin, dengan teori Evolusinya di dunia biologis, juga telah berhasil menanamkan efek dan pengaruhnya dalam bidang agama, akhlak, sosiologi, dan antropologi. Atas dasar ini, hendaknya kita senantiasa memperhatikan satu poin. Yaitu, meskipun Darwin dikenal sebagai seorang ahli biologi, akan tetapi teori Evolusinya yang notabene banyak dipengaruhi oleh aliran pemikiran logika dan pondasi dasar teori dialektika Hegel, serta dasar-dasar pemikiran Lamarck dan para pemikir yang lainmemiliki pengaruh yang sangat luas terhadap mayoritas aliran pemikiran filsafat, teologi, sosiologi, humanisme, dan biologi.
a.   Kontradiksi Darwinisme dengan Makrifatullah
Seperti telah dijelaskan sebelum ini, terdapat dua pandangan berkenaan dengan penciptaan spicies: (1) teori Fixisme yang meyakini penciptaan independen yang bersifat tiba-tiba dan (2) teori Transformasi yang meyakini bahwa seluruh makhluk hidup terderivasi dari sesamanya. Pertanyaan yang ada adalah apakah kita dapat mengasumsikan bahwa teori Fixisme sejalan dengan konsep makrifatullah dan teori Transformisme menentang konsep tersebut.
Sebagian pemikir mengklaim bahwa teori Darwin kontradiktif dengan argumentasi kekokohan ciptaan alam semesta (itqan-e son’) atau argumentasi teleolgikal (pengetahuan tentang tujuan ciptaan) sehingga dengan argumentasi ini yang merupakan argumentasi terpenting tentang konsep makrifatullah—kita tidak akan mampu membuktikan keberadaan Tuhan. Tidak diragukan bahwa argumentasi kekokohan ciptaan alam semesta di samping argumentasi ontologikal (hasti-shenakhti) dan kosmodogikal (jahan-shenakhti) adalah salah satu argumentasi terpenting dari tiga argumentasi klasik (tentang keberadaan Tuhan). Ringkasan argumentasi ini adalah sebagai berikut:
 Alam semesta ini adalah manifestasi keteraturan yang memiliki tujuan (proyek, managemen, dan kesesuaian). Atas dasar ini, pewujud alam semesta ini adalah sebuah Dzat yang cerdas, manager, dan bijaksana. Kualifikasi utama sebuah keteraturan yang memiliki tujuan adalah keteraturan itu membentuk seluruh proses dan struktur alam semesta ini sedemikian rupa sehingga memiliki keserasian dan dapat menelurkan sebuah hasil tertentu. Ketika menjelaskan srgumentasi ini, William Paley (1743-1805 M.), seorang teolog dan filosof berkebangsaan Inggris, menulis, “Jika seseorang menemukan sebuah jam di pulau Barhuti, ia berhak memiliki pikiran bahwa seorang yang sangat cerdas telah menciptakan jam itu. Menurut persepsi teori Evolusi, struktur organik masa kini lantaran sebuah proses yang bersifat antural terwujud dari batin organisme yang sangat sederhana. Berdasarkan keyakinan teori ini, terdapat dua faktor yang memainkan peran yang sangat penting: (a) mutasi dan (b) meluapnya jumlah penduduk. Mutasi bisa terjadi apabila makhluk hidup yang masih bayi berbeda dengan kedua orang tuanya dan ia memindahkan perbedaan ini kepada keturunannya dan keturunannya itu memindahkan perbedaan itu kepada makhluk yang lain. Seluruh keinginan dan mimpi Darwin adalah ia ingin menjelaskan bagaimana organisme yang sangt rumit terwujud dari organisme yang lebih sederhana.
b.   Teori Darwin Bertentangan dengan Kemuliaan Manusia
Darwin meyakini bahwa kesempurnaan manusia adalah hasil perubahan yang bersifat aksidental dan pertikaian untuk kekal. Atas dasar ini, naluri etika yang merupakan kekuatan batin manusia yang paling unggul dan berbeda sekalipun muncul dari sebuah pilihan natural. Ya, banyak ahli biologi seperti Wallace memiliki asumsi yang berbeda dengan asumsi Darwin itu. Mereka mengklaim bahwa pilihan natural tidak mampu menjustifikasi kekuatan-kekuatan naluri manusia yang lebih tinggi. Hal itu karena pilihan natural  hanya memberikan kepada manusia liar sebuah otak yang lebih unggul dibandingkan otak seekor kera.
 Dengan demikian, dalam hal ini terdapat dua kubu; Darwinisme dan para pengikut mazhab spiritualitas, yang saling bertentangan. Kubu pertama memperkenalkan manusia sebagai sebuah makhluk yang melintas dari gang dan perjalanan yang pernah dilalui oleh kera. Secara otomatis, kubu ini mengingkari kedudukan tinggi dan utama yang dimiliki oleh manusia. Sementara itu, kubu kedua meyakini bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia, dan oleh karena itu, ia tidak mungkin berasal dari bangsa kera.
Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis dapat kita pahami bahwa:
1.   Seluruh manusia memiliki dua sisi kejiwaan: sisi kejiwaan yang rendah dan sisi kejiwaan yang tinggi. Sisi kejiwaan yang rendah akan menyeretnya menuju ke jurang keburukan dan sisi kejiwaan yang tinggi menuntunnya kepada kebaikan. Oleh karena itu, ketika manusia telah berhasil menggapai tingkat kesempurnaan, ia akan bernilai.
2.   Dalam meniti kedua sisi kejiwaan tersebut, manusia memiliki hak untuk menentukan pilihan sendiri.
3.   Barang siapa yang berusaha untuk memperkuat sisi kejiwaannya yang rendah dan hewani tersebut dan meniti jalan kesesatan dengan pilihannya sendiri, niscaya ia lebih rendah daripada binatang.  Dan barang siapa yang berusaha mengangkat dan menyempurnakan sisi kejiwaannya yang tinggi, niscaya ia berhak menjadi khalifah Allah di muka bumi, menjadi pengajar para malaikat, dan berhak memiliki kemuliaan Ilahi.
4.   Jika kelebihmuliaan adalah sebuah nilai dan bersifat akhlaki, kemuliaan manusia hanya bergantung pada seluruh tindakannya yang bersifat ikhtiyari. Apabila tingkah laku baik manusia muncul dari sebuah pilihan yang dimilikinya sendiri, ia berhak menyandang label kemuliaan akhlak. Jika yang kita maksud adalah kemuliaan ontologis, maka lantaran manusia memiliki kesempurnaan-kesempurnaan yang bersifat dzati dan washfi (illustratif), tidak diragukan lagi bahwa ia memiliki aneka ragam kemampuan dan kelayakan untuk menggapai kesempurnaan; tingkatan kesempurnaan wujudnya juga memiliki kemuliaan filosofis, sekalipun kesempurnaan wujud ini adalah hasil perubahan yang bersifat aksidental dan pertikaian untuk kekal.
5.   Dalam memberikan nilai, manusia yang ada sekarang ini adalah tema pembahasan kita, bukan nenek moyang dan masa lalunya. Jika kita terima bahwa manusia berasal dari bangsa kera atau bahkan berasal dari sebuah benda yang lebih hina dari itu seperti air sperma, kehinaan yang dimiliki oleh makhluk asal yang sedang dalam proses evolusi tidak lantas menyebabkan kehinaan bagi makhluk tersebut pada periode berikutnya. Sebaliknya juga dapat dibenarkan; yaitu kemuliaan dan keutamaan yang dimiliki oleh sebuah makhluk pada periode sebelumnya tidak lantas menyebabkan kemuliaan baginya pada periode berikutnya.
6.   Tolok ukur hakikat  manusia adalah ruhnya, bukan tubuh materinya. Atas dasar ini, jika manusia berasal dari bangsa kera atau makhluk yang lain sekalipun, hal ini tidak memiliki andil dalam kemuliaan yang dimilikinya. Oleh karena itu, teori Darwinisme tidak kontradiksi sama sekali dengan kemuliaan manusia.

F.  Kontrakdiksi antara Etika Darwinisme dan Nilai-Nilai Etis
Pembahasan lain sehubungan dengan teori Darwinisme adalah kontradiksi teori ini dengan nilai-nilai etis. Dalam sebagian karya tulisnya, Darwin pernah menyatakan bahwa setiap tingkah laku yang dilakukan oleh manusia adalah manifestasi dari sebuah pilihan natural. Jika menukik menuju kesempurnaan adalah sebuah realita yang bersifat fitrah, maka tidak ada satu pun dari keputusan manusia yang akan dapat menyetop lajunya.
            Dalam sebagian karya tulisnya yang lain, Darwin menyatakan bahwa manusia harus mengikuti setiap prasangka dan ide yang dimiliki oleh makhluk yang lain di alam semesta ini. Ia juga mengingatkan, kesempurnaan mendatang lantaran tindakan-tindakan naluris yang notabene membela makhluk yang lebih lemah seperti orang-orang yang sakit atau yang cidera akan berhenti total. Persaingan bebas harus terwujud di kalangan seluruh manusia dan manusia yang paling mampu tidak boleh terhalangi untuk memproduksi hal-hal yang paling utama lantaran alasan undang-undang atau adat istiadat. Yaitu sebagaimana alam semesta ini adalah tempat bagi makhluk yang lebih layak dan terkuat, serta alam semesta tidak akan pernah memberikan perhatian kepada makhluk yang lemah dan akan menyingkirkannya, maka manusia dalam arena etika juga harus bertindak sesuai dengan undang-undang alam semesta, dan sebagai ganti dari bertindak sesuai dengan tuntunan naluri, memberikan perhatian kepada orang-orang yang lemah, lebih mementingkan orang lain, mencintai orang lain, dan lain sebagainya, ia malah harus bersaing dan meniti tangga-tangga (evolusi).
Darwinisme sosial terlahirkan berkat usaha Herbert Spencer dan Nitczhe dengan tujuan untuk memberangus ras-ras yang hina nan tak diinginkan dan menunjukkan etika evolusiatif. Kaum Nazi juga mengangkat teori ini sebagai sebuah pondasi utama. Di dunia Barat masih ditemukan para pemikir seperti Hackselly yang memiliki persepsi yang bertentangan dengan persepsi Darwin dan meyakini bahwa nilai-nilai etis tidak bisa disimpulkan dari dunia evolusi. Mereka juga menekankan bahwa melakukan sebuah tindakan yang memiliki nilai lebih utama dari sisi etika; yaitu suatu tindakan yang kita beri nama kebaikan dan keutamaan, menuntut adanya sebuah suluk yang—dari setiap segi—bertentangan dengan sebuah realita yang akan memperoleh kemenangan di arena pertikaian untuk kekal. Meskipun demikian, sebagai ganti dari menyingkirkan atau melecehkan seluruh pihak oposisi yang berdiri di hadapannya, manusia selayaknya tidak hanya menghormati makhluk sejenisnya, akan tetapi ia juga harus memberikan pertolongan kepada mereka


DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama Republik Indonesia -- Al-Qur'an dan Terjemahannya.

Baidan, Nashruddin. 2003. Perkembangan Tafsir Al Qur'an di Indonesia. Solo. Tiga Serangkai.

Baltaji, Muhammad. 2005. Metodologi Ijtihad Umar bin Al Khatab. (terjemahan H. Masturi Irham, Lc). Jakarta. Khalifa.

Faridl, Miftah dan Syihabudin, Agus --Al-Qur'an, Sumber Hukum Islam yang Pertama, Penerbit Pustaka, Bandung, 1989 M.

Ichwan, Muhammad Nor. 2001. Memasuki Dunia Al-Qur’an. Semarang. Lubuk Raya.

------------------------------. 2004.Tafsir 'Ilmy: Memahami Al Qur'an Melalui Pendekatan Sains Modern. Yogyakarta. Menara Kudus.

Ilyas, Yunahar. 1997. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur'an Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

al Khuli, Amin dan Nasr Hamid Abu Zayd. 2004. Metode Tafsir Sastra. (terjemahan Khairon Nahdiyyin). Yogyakarta. Adab Press.

al Mahali, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin As Suyuthi,2001, Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Azbabun Nuzul Jilid 4 (terj oleh Bahrun Abu Bakar, Lc), Bandung, Sinar Algesindo.

Qardawi, Yusuf. 2003. Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur’an. (terjemahan: Kathur Suhardi). Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.

al-Qattan, Manna Khalil. 2001. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an. Jakarta. Lentera Antar Nusa.

al-Qaththan, Syaikh Manna' Khalil. 2006. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an (Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an). Terjemahan: H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc, MA. Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.

ash-Shabuny, Muhammad Aly. 1996. Pengantar Studi Al-Qur'an (at-Tibyan) (terjemahan: Moch. Chudlori Umar dan Moh. Matsna HS). Bandung. al-Ma’arif.

SURAT AL-JATSIYAH AYAT 18

SURAT AL-JATSIYAH AYAT 18

Syariat adalah sebuah terminologi yang disebutkan oleh Al-Qur`an yang diturunkan dalam bahasa Arab. Ia sekaligus menyambungkan sejarah agama-agama yang dibawa oleh para Rasul dan ditutup oleh kerasulan Nabi Muhammad (asy-Syura: 13). Pengertian syariat secara bahasa tentunya harus dirujukkan kedalam bahasa Al-Qur`an bukan kedalam bahasa lokal yang dapat memunculkan penafsiran yang mesum seperti yang dilakukan oleh Darmo Gandul dan Gatoloco. Secara bahasa ia berarti at-Thariqah. Melaksanakan syariat artinya mengikuti jalan yang terang. Dari sini, menurut ar-Rogib al-Asfahani, ungkapan ini dipinjam untuk menjadi thariqah Ilahiyah. Secara terminologi, thariqah mempunyai dua arti, yaitu :
1.  Jalan apapun yang dimudahkan oleh Allah dan kemudian dilalui oleh umat manusia yang akan membawa efek kemaslahatan bagi umat manusia serta kemakmuran negeri.
2. Apa saja yang ditentukan Allah dalam agamanya dan apa saja yang diperintahkan-Nya agar manusia dapat memilih karena adanya perbedaan syariat-syariat agama karena terjadi nashikh (penghapusan) atas agama sebelumnya.
Syariat juga disebut dengan syariat sebab ditamsilkan dengan ungkapan yang berkaitan dengan syariat air sebab siapa pun yang mereguknya dengan benar maka akan hilanglah dahaganya dan bahkan dengan air itu ia bisa bersuci. Menurut asy-Syarif al-Jurjani, syariat berarti tunduk patuh merealisasikan ubudiyah dalam bentuk melaksanakan seluruh komitmen, menjaga seluruh aturan dan ridha serta sabar terhadap berbagai cobaan. Adapun Prof. DR. Yusuf al-Qaradhawi mendefenisikan syariat sebagai apa saja ketentuan Allah yang dapat dibuktikan melalui dalil-dalil Al-Qur`an maupun Sunnah atau juga melalui dalil-dalil ikutan lainnya seperti ijma', qiyasdan lain sebagainya.
Agama Islam melalui kitab sucinya Al-Qur`an menyampaikan beberapa ayat yang secara eksplisit menyebutkan tentang syariat misalnya dalam surat al-Jatsiyah ayat 18 dan surat asy-Syura ayat 13. Sekalipun ayat-ayat tentang ini berada dalam kelompok ayat-ayat Makkiyah yang secara prinsip berkaitan dengan masalah akidah, sehingga nanti datanglah seorang ulama bernama Abu Bakr Muhammad bin Husain al-Ajuri (wafat pada tahun 360 H) menulis kitab dengan judul Asy-Syariat yang keseluruhan pembahasan adalah masalah akidah. Tetapi bukanlah berarti cakupan syariat hanya terbatas pada masalah akidah dalam pengertian yang populer sebab akidah dalam pengertiannya yang ash-shalah (orisinil) sesungguhnya juga sangat berkaitan dengan aspek sosial, hukumdan politik. Surat an-Nas, al-Ikhlasdan al-Kafirun misalnya yang kesemuanya adalah surat-surat Makkiyah tetapi cakupan akidahnya berkaitan langsung dengan masalah sosial, hukum, ekonomidan politik.Bahkan, sufi besar al-Hasan Basri pun menyebutkan bahwa hakikat iman bukanlah sekadar apa yang diangankan dalam hati, tetapi ia sekaligus kebenaran yang diyakini, diungkapkandan dikerjakan. Dari pengertian tentang syariat di atas nampak jelas bahwa terminologi syariat dalam pengertian agama mencakup bukan hanya masalah hukum Islam seperti yang banyak dipahami orang, tidak juga otomatis berkaitan dengan potong tangan, pemaksaan pemakaian jilbab, atau mengejar-ngejar orang untuk shalat seperti yang dipahami sebagian pihak lainnya. Tetapi, ia juga sangat berkaitan dengan masalah lain, seperti masalah sosial budaya dan pendidikkan. Untuk itulah Prof. DR. Bustanul Arifin, S.H. telah menyebutkan bahwa syariat adalah metode atau cara menjalankan ad-Din (agama). Karena ad-Din meliputi seluruh segi kehidupan, maka syariat sebagai program pelaksanaannya juga meliputi seluruh kehidupan.
Syariat juga berkaitan dengan pakaian dan asesoris yang dikenakan sebagaimana yang ditampilkan kajian DR. Muhammad Abdul Aziz Amru dalam kitabnya Al-Libas wa Zinah fi Syariah al-Islamiyah. Syariat juga berkaitan dengan upaya untuk merealisasikan kemaslahatan hidup seperti yang disampaikan DR. Sa'id Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya Dhawabith al-Mashlahah fi Syariah al-Islamiyah. Syariat juga ternyata sangat mementingkan keleluasaan hidup dan menjauhkannya dari yang menyulitkan sebagaimana yang tampak jelas dalam kajian DR. Shalih bin Abdullah bin Humaid dalam kitabnya Raf'ul al Haraj fi Syariah al-Islamiyah.
Dalam cakupan beragama dikenal juga satu bentuk pengamalan agama melalui cara-cara tasawuf. Dalam terminologi mereka syariat sering dihadapkan dengan hakikat. Suatu penghadapan yang tidak selamanya diterima oleh ulama taSawuf generasi awal seperti al-Hujwiri, syariat tidak mungkin bisa dipertahankan tanpa adanya hakikat dan hakikat tidak mungkin dipertahankan tanpa adanya pelaksanaan syariat. Hubungan timbal balik keduanya bisa dibandingkan dengan hubungan badan dan ruh, bila ruh meninggalkan badan maka badan menjadi mayat. Tetapi ruh akan lenyap seperti angin tanpa badan karena keduanya bergantung pada kerja sama keduanya satu sama lain. Demikian pula hukum tanpa kebenaran adalah riya' dan kebenaran tanpa hukum adalah kemunafikan (nifaq). Adapun Imam al-Qusyairi menyebutkan bahwa syariat adalah disiplin ubudiyah sedangkan hakikat adalah musyahadah Ilahiyah. Setiap syariat yang tidak dikukuhkan dengan hakikat tidak bisa diterima. Sebaliknya hakikat yang tidak dilandaskan pada syariat tidak akan sukses. Perlu diketahui syariat itu sendiri adalah hakikat bila dilihat bahwa syariat merupakan keharusan melalui perintah-Nya. Begitupun hakikat adalah syariat dari segi bahwa makrifat kepada-Nya terjadi karena perintah-Nya. Untuk itulah beliau menukil ungkapan sufi besar seperti Abu Yazid al-Bisthomi yang mengatakan bila Anda melihat seseorang mengaku diberi karamah, dapat terbang di udara (misalnya) Anda sekalian jangan mudah tertipu sampai Anda melihat benar bagaimana orang tersebut melaksanakan perintah, menjauhi larangan, menjaga hukum-hukum serta menunaikan syariat.

MAKNA YANG TERKANDUNG DALAM SURAT AL-JATSIYAH AYAT 18

Firman Allah dalam surah Al-Jatsiyah ayat 18, yang artinya:


”Kemudian kami jadikan bagiu kamu sebuah syari’ah, maka ikutilah syariah itu, dan jangan kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui
           Islam sebagai ad-din mengandung ajaran yang komprehensif dan sempurna (syumul). Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek ibadah, tetapi juga aspek muamalah, juga ekonomi Islam. Al-Qur’an secara tegas menyatakan kesempurnaan Islam tersebut dalam banyak ayat, antara lain, ( QS. 5:3, 6:38, 16:89).
Kesempurnaan Islam itu tidak saja diakui oleh intelektual muslim, tetapi juga para orientalist barat, di antaranya H.A.R Gibb yang mengatakan, “ Islam is much more than a system of theology it’s a complete civilization.”
            Berkaitan dengan ayat 18 surat Al-Jatsiyah di atas, maka hal-hal yang perlu dikaji tentang makna dari ayat tersebut, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

 

Mengapa Kita Beragama?

“Dasar pertama agama (dîn) adalah mengenal-Nya”.
Perkataan di atas sangat tepat dan pada tempatnya, mengingat banyak orang yang beragama, tetapi tidak mengenal agamanya dengan baik. Padahal, mengenal agama seharusnya berada pada tahapan awal sebelum mengamalkan ajarannya. Tetapi secara realita, keberagamaan sebagian besar dari mereka tidak sebagaimana mestinya. Dalam kesempatan ini penulis akan memberikan penjelasan tentang mengapa kita beragama dan bagaimana seharusnya kita beragama dan bagaimana seharusnya kita beragama? Sehingga kita beragama atas dasar bashirah (pengetahuan, pengertian dan bukti).
Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad), inilah jalan-Ku. Aku mengajak kepada Allah dengan bashirah (hujjah yang nyata).” (Q.S. Yusuf, 108).
Namun, sebelum menjawab dua pertanyaan di atas, ada baiknya kami terlebih dahulu membicarakan tentang din itu sendiri.

Apa itu Din?

Dîn berasal dari bahasa Arab dan dalam Al Quran disebutkan sebanyak 92 kali. Menurut arti bahasa(etimologi), dîn diartikan sebagai balasan dan ketaatan. Dalam arti balasan, Al Quran menyebutkan kata dîn dalam surat Al-Fatihah ayat 4, maliki yawmiddîn – “(Dialah) Pemilik (raja) hari pembalasan.“  Demikian pula dalam sebuah hadis, dîn diartikan sebagai ketaatan. Rasulullah saaw bersabda, “ad-dînu nashihah (Agama adalah ketaatan).” Sedangkan menurut terminologi Teologi, dîn diartikan sebagai sekumpulan keyakinan, hukum dan norma yang akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Berdasarkan hal di atas, din mencakup tiga dimensi, (1) keyakinan (akidah), (2) hukum (syariat) dan (3) norma (akhlak). Ketiga dimensi tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga satu sama lain saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Dengan menjalankan din, kebahagiaan, kedamaian dan ketenangan akan teraih di dunia dan di akhirat. Seseorang dikatakan mutadayyin (ber-dîn dengan baik), jika dia dapat melengkapi dirinya dengan tiga dimensi agama tersebut secara proporsional, sehingga dia pasti berbahagia.
Dalam dimensi keyakinan atau akidah, seseorang harus meyakini dan mengimani beberapa perkara dengan kokoh dan kuat, sehingga keyakinannya tersebut tidak dapat digoyahkan lagi. Keyakinan seperti itu akan diperoleh seseorang dengan argumentasi (dalil aqli) yang dapat dipertahankan. Keyakinan ini pada intinya berkisar pada keimanan kepada Allah dan hari akhirat.
Adapun syariat adalah konsekuensi logis dan praktis dari keyakinan. Mengamalkan syariat merupakan refresentasi dari keyakinan. Sehingga sulit dipercaya jika seseorang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhirat tetapi tidak mengindahkan syariat-Nya, karena syariat merupakan kewajiban dan larangan yang datang dari-Nya. Sedangkan akhlak adalah tuntutan akal budi (‘aql ‘amali) yang mendorong seseorang untuk mengindahkan norma-norma dan meninggalkan keburukan-keburukan. Seseorang belum bisa dikatakan mutadayyin selagi tidak berakhlak - “la dîna liman la akhlaqa lahu.” Demikian pula, keliru sekali jika seseorang terlalu mementingkan akhlak dari pada syariat.
Dari ketiga dimensi dîn tersebut, keyakinan (akidah) menduduki posisi yang paling prinsip dan menentukan. Dalam pengertian, bahwa yang menentukan seseorang itu mutadayyin atau tidak adalah keyakinannya. Dengan kata lain, yang memisahkan seseorang yang beragama dari yang tidak beragama (atheis) adalah keyakinannya. Lebih khusus lagi, bahwa keyakinanlah yang menjadikan seseorang itu disebut muslim, kristiani, yahudi atau lainnya.
Kita kembali pada pertanyaan semula di atas, “mengapa kita beragama ?”
Manusia adalah satu spesies makhluk yang unik dan istimewa dibandîng makhluk-makhluk lainnya, termasuk malaikat, karena manusia dicipta dari unsur yang berbeda, yaitu unsur hewani / materi dan unsur ruhani / immateri. Memang, dari unsur hewani manusia tidak lebih dari binatang, bahkan lebih lemah darinya. Bukankah banyak diantara binatang yang lebih kuat secara fisik dari manusia ? Bukankah ada binatang yang memiliki ketajaman mata yang melebihi mata manusia? Bukankah ada pula binatang yang penciumannya lebih peka dan lebih tajam dari penciuman manusia ? Dan sejumlah kelebihan-kelebihan lainnya yang dimiliki selain manusia.
Sehubungan ini Allah swt berfirman, “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.”(QS. An-Nisa, 28).  “Allah telah menciptakan kalian lemah, kemudian menjadi kuat, lalu setelah kuat kalian menjadi lemah dan tua.” (QS. Rum, 54). Masih banyak ayat lainnya yang menjelaskan hal serupa.
Karena itu, sangatlah tidak pantas bagi manusia berbangga dengan penampilan fisiknya, disamping itu penampilan fisik adalah wahbi sifatnya (semata-mata pemberian dari Allah, bukan hasil usahanya).
Kelebihan manusia terletak pada unsur ruhani (mencakup hati dan akal, keduanya bukan materi). Dengan akalnya, manusia yang lemah secara fisik dapat menguasai dunia dan mengatur segala yang ada di atasnya. Karena unsur inilah Allah menciptakan segala yang ada di langit dan di bumi untuk manusia (Lihat surat Luqman ayat 20). Dalam salah satu ayat Al Quran ditegaskan, “Sungguh telah kami muliakan anak-anak Adam, kami berikan kekuasaan kepada mereka di darat dan di laut, serta kami anugerahi mereka rizki. Dan sungguh kami utamakan mereka di atas kebanyakan makhluk Kami lainnya.” (QS. Al-Isra 70).
Unsur akal pada manusia, awalnya masih berupa potensi (bil-quwwah) yang perlu difaktualkan (bil-fi’li) dan ditampakkan. Oleh karena itu, jika sebagian manusia lebih utama dari sebagian lainnya, maka hal itu semata-mata karena hasil usahanya sendiri, karena itu dia berhak berbangga atas lainnya. Sebagian mereka ada pula yang tidak berusaha memfaktualkan dan menampakkan potensinya itu, atau memfaktualkannya hanya untuk memuaskan tuntutan hewaninya, maka orang itu sama dengan binatang, bahkan lebih hina dari binatang (QS. Al-A’raf 170 dan Al-Furqan 42).
Termasuk ke dalam unsur ruhani adalah fitrah. Manusia memiliki fitrah yang merupakan modal terbesar manusia untuk maju dan sempurna. Dîn adalah bagian dari fitrah manusia.
Dalam kitab Fitrat (edisi bahasa Parsi), Syahid Muthahhari menyebutkan adanya lima macam fitrah (kecenderungan) dalam diri manusia, yaitu mencari kebenaran (haqiqat), condong kepada kebaikan, condong kepada keindahan, berkarya (kreasi) dan cinta (isyq) atau menyembah (beragama). Sedangkan menurut Syeikh Ja’far Subhani,terdapat empat macam kecenderungan pada manusia,dengan tanpa memasukan kecenderungan berkarya seperti pendapat Syahid Muthahhari (kitab al-Ilahiyyat, juz 1).
Kecenderungan beragama merupakan bagian dari fitrah manusia. Manusia diciptakan oleh allah dalam bentuk cenderung beragama,dalam arti manusia mencintai kesempurnaan yang mutlak dan hakiki serta ingin menyembah pemilik kesempurnaan tersebut. Syeikh Taqi Mishbah Yazdi, dalam kitab Ma’arif Al Quran juz 1 hal. 37, menyebutkan adanya dua ciri fitrah, baik fitrah beragama maupun lainnya, yang terdapat pada manusia, yaitu pertama kecenderungan-kecenderungan (fitrah) tersebut diperoleh tanpa usaha atau ada dengan sendirinya, dan kedua fitrah tersebut ada pada semua manusia walaupun keberadaannya pada setiap orang berbeda, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Dengan demikian, manusia tidak harus dipaksa beragama, namun cukup kembali pada dirinya untuk menyambut suara dan panggilan hatinya, bahwa ada sesuatu yang menciptakan dirinya dan alam sekitarnya.
Meskipun kecenderungan beragama adalah suatu yang fitri, namun untuk menentukan siapa atau apa yang pantas dicintai dan disembah bukan merupakan bagian dari fitrah, melainkan tugas akal yang dapat menentukannya. Jadi jawaban dari pertanyaan mengapa manusia harus beragama, adalah bahwa beragama merupakan fitrah manusia. Allah Ta’ala berfirman, “Maka hadapkanlah wajahmu kepada dîn dengan lurus, sebagai fitrah Allah yang atasnya manusia diciptakan.” (QS. Rum 30).

Bagaimana Seharusnya Kita Beragama?

Pertanyaan di atas layak diketengahkan dalam rangka introspeksi diri atas keagamaan kita, sehingga kita benar-benar beragama sebagaimana mestinya. Karena betapa banyak orang beragama, namun keberagamaan mereka sekedar warisan dari orang tua atau lingkungan sekitar mereka. Bahkan ada sebagian orang beranggapan, bahwa agama hanya sebagai pelengkap kehidupan yang sifatnya eksidental.
Mereka tidak ambil peduli yang lazim terhadap agama. Karenanya mereka beragama asal-asalan, sekedar tidak dikatakan tidak beragama. Gejala perpindahan dari satu agama kepada agama yang lain bukanlah semata karena faktor ekonomi. Bahkan, anggapan bahwa semua agama itu sama merupakan akibat dari ketidak pedulian yang lazim terhadap agama. Gejala pluralisme semacam ini menjadi trend abad kedua puluh.
Dalam persepsi mereka, membicarakan agama adalah suatu hal yang sangat sensitif dan akan merenggangkan hubungan antara manusia. Agama merupakan sesuatu yang sangat personal dan tidak perlu diungkap dalam forum-forum umum dan terbuka. Jika harus berbicara agama pun, maka ruang lingkupnya harus dibatasi pada sisi peribadatan saja.
Agama telah dirampingkan, sedemikian rupa sehingga, hanya mengurus masalah-masalah ritual belaka. Agama jangan dibawa-bawa ke dalam kancah politik, sosial dan ekonomi. Karena jika agama dibawa ke dalam arena politik dan sosial, maka akan terjadi perang antar agama dan penindasan atas agama tertentu oleh agama yang berkuasa. Demikian pula, jika agama diperan aktifkan dalam urusan ekonomi, maka akan membatasi kebebasan perilaku menimbun kekayaan, karena banyak lampu-lampu merah dan peringatan-peringatan yang sudah tentu akan menghambat kelancaran bisnis.
Tentu, bagi mereka yang masih memiliki keterikatan dengan agama akan mengatakan, bahwa pernyataan di atas relatif kebenarannya. Sebab, boleh jadi pernyataan di atas adalah suatu kesimpulan dari beberapa kasus sejarah yang parsial dan situasional, bahkan tidak bisa digeneralisasikan.
Namun bagi kaum muslimin, pernyataan di atas sama sekali tidak benar, karena secara teoritis agama Islam adalah pegangan hidup (way of life) yang lengkap dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, baik secara individu maupun kemasyarakatan. Islam agama yang sangat luas dan fleksibel. Secara praktek hal ini telah dibuktikan, bahwa dalam sebuah pemerintahan yang menjalankan syariat Islam dengan baik, kehidupan masyarakatnya baik muslim atau non muslim aman, damai dan sejahtera, bahkan perkembangan ilmu pengetahuan di dalamnya maju pesat.
Yang menjadi acuan kita, adalah bagaimana seharusnya kita beragama, agar ajarannya benar-benar terasa dan mewarnai seluruh aspek kehidupan kita.
Sebagaimana telah telah diterangkan di atas, bahwa ajaran-ajaran Din terdiri atas tiga macam, yaitu akidah (keyakinan), syariah (hukum atau fiqih) dan akhlaq. Semuanya harus kita perhatikan secara proporsional. Di sini penulis akan menjelaskan kembali secara ringkas ketiga jenis ajaran tersebut.

1. Akidah

Akidah adalah perkara-perkara yang mengikat akal, pikiran dan jiwa seseorang (Mabani-e Syenakht, Syeikh Muhammad Raysyahri). Misalnya, ketika seseorang meyakini adanya satu Dzat yang senantiasa mengawasi gerak-gerik kita, maka keyakinan tersebut mengikat kita sehingga kita tidak leluasa berbuat sesuatu yang akan menyebabkan-Nya murka.
Pada dasarnya, inti dari akidah semua agama, adalah keyakinan akan eksistensi Dzat Pencipta alam raya ini dan ini merupakan fitrah manusia. Dengan demikian, dari sisi ini semua agama sama, khususnya agama samawi. Allah Ta’ala berfirman,“Katakanlah wahai ahli kitab, marilah kita menuju (membicarakan) kalimat (keyakinan) yang sama antara kami dan kalian.” (QS. Ali Imran : 64).
Namun perbedaan muncul ketika berbicara tentang siapa pencipta alam raya ini, bagaimana wujud-Nya, apakah tunggal atau berbilang, atau pertanyaan-pertanyaan lain yang berkaitan dengan ketuhanan.
Tentu, tidak mungkin semua agama itu benar dalam memahami Dzat Pencipta. Oleh karenanya, hanya ada satu agama yang benar dalam memahami siapa dan bagaimana Dzat Pencipta itu. Lalu bagaimana cara menentukan mana agama yang benar ?
Dalam hal ini, masing-masing agama tidak bisa membicarakan hal itu menurut kaca matanya sendiri, baik melalui kitab sucinya atau pendapat para pakarnya. Umat Islam tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan itu Allah dengan Al Quran maupun Hadis, atau umat Kristiani dengan kitab Injilnya. Demikian pula umat lainnya.
Berbicara tentang siapa dan bagaimana Tuhan Pencipta, harus dengan sesuatu yang disepakati dan dimiliki oleh setiap agama, yaitu akal. Keunggulan dan keberhasilan suatu agama atau aliran, tergantung sejauh mana dapat dipertahankan kebenarannya oleh akal. Maka di sinilah perlunya kita mempelajari akidah melalui pendekatan akal, atau yang sering disebut dengan ushuluddîn, ilmu tauhid dan ilmu kalam (theologi).
  
Bagaimana kita berakidah atau bagaimana cara kita mempelajari akidah ?
Ayatullah Muhammad Rey Syahri dalam kitab Mabani-e Syenakht membagi manusia yang berakidah kepada dua kelompok, yaitu sebagian orang berakidah atas dasar taqlid dan lainnya berakidah atas dasar tahqiq. Taqlid ialah menerima pendapat orang tanpa dalil dan argumentasi (burhan) aqli, sebaliknya tahqiq adalah menerima pendapat berdasarkan dalil dan argumentasi (burhan) aqli.
Berakidah atas dasar taqlid, menurut akal tidak dapat dibenarkan. Karena masalah akidah adalah masalah keyakinan dan kemantapan, sementara taqlid tidak memberikan keyakinan dan kemantapan. Oleh karenanya, alangkah banyak kalangan awam, dalam masalah keagamaan, karena satu dan lain hal, pindah agama atau keluar dari agamanya. Al Quran sendiri, dalam beberapa ayatnya, mengkritik cara berpikir seperti ini, yang merupakan cara berpikir yang biasa dijadikan alasan oleh orang-orang musyrik untuk tidak mengikuti ajakan para Nabi. Misalnya, Al Quran mengatakan, “Jika dikatakan kepada mereka, Ikutilah apa yang Allah turunkan. Mereka menjawab, Tidak. Akan tetapi kami mengikuti (melakukan) apa yang kami dapati dari pendahulu kami.” (QS. Luqman : 21).
Selain itu, Al Quran juga melarang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan, “Dan janganlah kalian mengikuti apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-Isra : 36). Bahkan Al Quran menyebut orang yang tidak menggunakan akalnya sebagai binatang yang paling buruk, “Sesungguhnya binatang yang paling buruk di sisi Allah adalah orang yang bisu dan tuli, yaitu orang-orang yang tidak berpikir.” (QS. Al-Anfal : 22) dan ayat-ayat lainnya.
Disamping itu, terdapat sejumlah Hadis Rasulullah saaw yang menganjurkan umatnya agar beragama atas dasar pengetahuan. Antara lain Hadis yang berbunyi, “Jadilah kalian orang yang berilmu atau yang sedang menuntut ilmu, dan jangan menjadi orang yang ikut-ikutan.” (Kitab an-Nihayah Ibnu Atsir, jilid I hal. 67)
Terhadap apa yang telah diterangkan di atas, secara ringkas dapat dikatakan, akal diciptakan sebagai sumber kekuatan manusia untuk mengetahui kebenaran dan kesalahan. Salah seorang Ma’shumin berkata, “Allah mempunyai dua hujjah (bukti kebenaran), hujjah lahiriah dan hujah batiniah. Hujah lahiriah adalah para Rasul dan hujjah batiniah adalah akal.” Sementara itu, para Mutakalimin dan filosof muslim telah bersusah payah membangun argumentasi-argumentasi rasional yang kuat dan kokoh tentang pembuktian keberadaan Allah Ta’ala.
Dengan demikian, kesimpulan yang dapat kita tarik dari keterangan di atas, adalah bahwa dalam masalah akidah seseorang mesti bertahqiq dengan dalil-dalil akal, dan tidak boleh bertaqlid.

2. Syariat

Syariat menurut arti bahasa adalah tempat mengalirnya air. Lalu syariat diartikan lebih luas, yaitu untuk segala jalan yang mengantarkan manusia kepada maksudnya (lihat Tafsir Namuneh dan Tafsir Mizan dalam menafsirkan surat Al-Jatsiyah ayat 18).
Dengan demikian, Syariat Islamiyah berarti jalan yang mengantarkan umat manusia kepada tujuan Islami.
Setelah seseorang meyakini keberadaan Allah sebagai Pencipta dan Pemberi kehidupan sesuai dengan dalil-dalil akal, maka konsekuensi logisnya (bil mulazamah aqliyyah) dia akan merasa berkewajiban untuk menaati dan menyembah-Nya. Namun sebelumnya, tentu dia harus mengetahui cara bertaat dan menyembah kepada-Nya, agar tidak seperti orang-orang Arab Jahiliyah yang menyembah Allah, namun melalui patung-patung (QS. Az-Zumar : 3).
Mereka, sesuai dengan fitrah illahiah, meyakini keberadaan Tuhan Sang Pencipta alam raya. Berkenaan dengan itu, Allah Ta’ala berfirman, “Jika kamu bertanya kepada mereka, Siapakah yang menciptakan bumi dan langit ? Niscaya mereka menjawab, Allah.” (QS. Lukman : 25).  Kemudian, mereka ingin mengadakan hubungan dan berkomunikasi dengan-Nya (menyembah-Nya), sebagaimana Allah lukiskan dalam firman-Nya, “Sebenarnya kami menyembah patung-patung sebagai upaya mendekatkan diri kami kepada Allah semata.” (QS. Az-Zumar : 3). Meskipun mereka meyakini keberadaan Allah Ta’ala, namun mereka salah dalam cara mengadakan hubungan dan berkomunikasi dengan-Nya.
Agar tidak terjadi kesalahan dalam kontak dan komunikasi dengan Allah, maka kita mesti melakukannya menurut cara yang dihendaki-Nya dan tidak mengikuti cara yang kita inginkan. Allah dengan luthf-Nya (upaya mendekatkan hamba pada ketaatan dan menjauhkannya dari kemaksiatan) mengutus para Nabi dan menurunkan kitab untuk mengajarkan tata cara menyembah (beribadah). Oleh karena itu, kita mesti mengikuti bagaimana Rasulullah saaw beribadah, ‘’Shalatlah kalian, sebagaimana kalian melihat aku shalat.’’
Kaum muslimin yang menyaksikan Rasulullah beribadah secara langsung, tidak mengalami kesulitan untuk mengikuti beliau. Namun, bagi kita yang telah dipisahkan dari beliau dengan rentang waktu yang cukup panjang (lima belas abad), untuk mengetahui cara beliau beribadah hanyalah dapat dilakukan melalui perantaraan Al Quran dan Hadis. Dan untuk memahami maksud Al Quran dan Hadis tidaklah mudah.
Menyangkut Al-Qur’an, Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata, “Kitab Tuhan kalian (berada) di tengah-tengah kalian. Ia menjelaskan tentang halal dan haram, kewajiban dan keutamaan, nasikh (ayat yang menghapus) dan mansukh (ayat yang dihapus), rukhshah dan azimah, khusus dan umum, ibrah dan perumpamaan, mursal (mutlaq) dan mahdud (muqayyad), muhkam (ayat yang jelas maksudnya)…” (Tashnif Nahjul Balaghah : 207). Sedangkan mengenai Hadis yang sampai kepada kita, ribuan jumlahnya dari berbagai kitab Hadis dan tidak sedikit darinya terdapat pertentangan satu dengan lainnya.
Dengan demikian, untuk dapat memahami maksud Al Quran dan Hadis, harus terlebih dahulu menguasai sejumlah disiplin ilmu dengan baik, antara lain Bahasa Arab, Tafsir, Ulumul Qur’an, Ushul Fiqih, Mantiq, Ilmu Rijal, Ulumul Hadis dan sebagainya.
Orang yang telah menguasai semua disiplin ilmu tersebut dengan baik, dia dapat ber-istinbath (meng-interpretasi-kan hukum) secara langsung dari Al Quran dan Hadis (pelakunya disebut mujtahid). Tetapi orang yang tidak menguasai semua ilmu di atas dengan baik, maka cukup baginya mengikuti (bertaqlid) kepada hasil istinbath seorang mujtahid. Dalam masalah akidah taqlid tidak diperkenankan, sementara dalam masalah syariat taqlid diperbolehkan.

3. Akhlak

Para ulama dalam mengartikan akhlak umumnya mengatakan, “Akhlak adalah ilmu yang menjelaskan tentang mana yang baik dan yang buruk, serta apa yang harus diamalkan.” Mereka membagi ilmu akhlak kepada dua bagian, yaitu akhlak teoritis dan akhlak praktis. Mempelajari dan mengamalkan akhlak sangat diperlukan, sebagai proses mencapai tujuan hidup, yaitu kesempurnaan.

  © Blogger template The Beach by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP