NIKAH SIRRI
Jumat, 04 Desember 2009
NIKAH SIRRI DALAM TINJAUAN NORMATIF
DAN HISTORIS-SOSIOLOGIS
DAN HISTORIS-SOSIOLOGIS
Sesungguhnya tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Bukan untuk sekedar memuaskan hawa nafsu. Meski Allah menghalalkan perceraian (jika memang tak cocok lagi), tapi sesungguhnya Allah membenci hal itu. Kemudian pernikahan itu harus diumumkan ke publik, agar bisa diketahui umum dalam bentuk perayaan/walimah. Sehingga tidak ada fitnah atau gunjingan.
Meski sebagian orang menganggap nikah sirri adalah sah karena sesuai dengan agama tapi tidak dicatatkan di KUA, namun tetap dalam masalah ini masih ada yang kurang. Karena nikah siri ternyata paling tidak sebagian dilakukan diam-diam, seolah-olah aib yang tidak ingin diketahui. Biasanya hal ini terjadi untuk menutupi keberadaan atau status orang yang akan melakukan nikah sirri.
Nikah adalah peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Sesuatu yang sebelumya haram bagi dia, berubah menjadi halal dengan sarana pernikahan. Implikasi pernikahan pun besar, luas dan beragam. Pernikahan adalah sarana awal mewujudkan sebuah tatanan masyarakat. Jika unit-unit keluarga baik dan berkualitas, maka bisa dipastikan bangunan masyarakat yang diwujudkan akan kokoh dan baik. Oleh karean itu, Nabi mengajarkan umatnya untuk menikah:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْأَزْهَرِ حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ مَيْمُونٍ عَنِ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي وَتَزَوَّجُوا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ
Karena sifatnya yang menjangkau kehidupan luas di luar keluarga, pernikahan memiliki makna sangat strategis dalam kehidupan sebuah bangsa. Dalam konteks ini, pemerintah menjadi berkepentingan untuk mengatur institusi pernikahan, agar tatanan masyarakat yang teratur dan tentram bisa diwujudkan. Undang-Undang no. 1 tahun 1974 adalah bentuk kongkret pengaturan pemerintah soal pernikahan.
Dalam pasal 2 ayat 2 Undang-Undang I ini tertulis: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku”. Ketentuan ini lebih lanjut diperjelas dalam Bab 11 Peraturan Pemerintah (PP) no. 9 tahun 1975 yang intinya: sebuah pernikahan baru diangap memiliki kekuatan hukum di hadapan undang-undang jika dilaksanakan menurut aturan agama dan telah dicatatkan oleh pegawa pencatat pernikahan yang ditentukan undang-undang. Aturan inilah yang akhirnya menimbulkan istilah yang disebut: nikah sirri.
Nikah sirri menurut hukum Islam – berdasarkan penelusuran dalil secara tekstual - adalah sah apabila memenuhi rukun dan semua syarat sahnya nikah meskipun tidak dicatatkan. Karena syariat Islam dalam Al-Quran maupun Sunnah tidak mengatur secara konkrit tentang adanya pencatatan perkawinan. Sedangkan menurut hukum positif, nikah sirri ini tidak sah karena tidak memenuhi salah satu syarat sah perkawinan yaitu pencatatan perkawinan kepada Pejabat Pencatat Nikah. Tanpa adanya pencatatan, maka pernikahan itu tidak mempunyai akta otentik yang berupa buku nikah.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Ahkamu al-Zawaj, menyatakan bahwa nikah sirri adalah apabila laki-laki menikahi perempuan tanpa wali dan saksi-saksi, serta merahasiakan pernikahannya. Sehingga langsung dapat sisimpulkan, bahwa pernikahan ini bathil menurut jumhur ulama.
Wahbah Zuhaili menyatakan bahwa nikah sirri –seperti yang didefinisikan dalam fiqh- yakni nikah yang dirahasiakan dan hanya diketahui oleh pihak yang terkait dengan akad. Pada akad ini dua saksi, wali dan kedua mempelai diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, dan tidak seorangpun dari mereka diperbolehkan menceritakan akad tersebut kepada orang lain.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, sebenarnya nikah sirri mempunyi beberapa devinisi, diantaranya adalah:
1. Pernikahan yang dipandang sah dari segi agama (Islam), namun tidak didaftarkan ke KUA (selaku lembaga perwakilan negara dalam bidang pernikahan).
2. Pernikahan yang dilakukan tanpa kehadiran wali dari pihak perempuan (catatan: laki-laki memerlukan wali pada saat pernikahan).
3. Pernikahan yang sah dilakukan baik oleh agama maupun secara negara (juga tercatat di KUA), namun tidak disebarluaskan (tidak diadakan walimah/resepsi).
Nikah sirri yang dimaksud dalam pembahasan ini bukanlah seperti yang dinyatakan Ibn Taimiyah atau Wahbah Huzaili, akan tetapi merupakan praktek pernikahan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Muslim Indonesia yaitu pernikahan yang dilakukan sesuai syarat dan rukun nikah menurut ajaran Islam, namun tidak didaftarkan ke KUA (selaku lembaga perwakilan negara dalam bidang pernikahan). Nikah Sirri dalam satu sisi mengandung beberapa kemudharatan, tetapi dalam sisi lain banyak dipraktekkan oleh kalangan Muslim Indonesia dengan segala variannya. Pada titik inilah maka nikah sirri perlu dikaji secara komprehensif, tidak semata-mata dengan pendekatan tekstual-normatif tetapi perlu dipertimbangkan aspek-aspek kultural-sosiologisnya.
A. Problem Sosiologis Nikah Sirri
Berdasarkan analisis atas kenyataan yang ada di lapangan, penyebab maraknya nikah sirri adalah dikarenakan ketidaktahuan masyarakat terhadap dampak pernikahan sirri. Masyarakat miskin hanya bisa berpikir jangka pendek, yaitu terpenuhi kebutuhan ekonomi secara mudah dan cepat. Sebagian yang lain mempercayai, bahwa istri simpanan kiai, tokoh dan pejabat mempercepat perolehan status sebagai istri terpandang di masyarakat, kebutuhannya tercukupi dan bisa memperbaiki keturunan mereka. Keyakinan itu begitu dalam berpatri dan mengakar di masyarakat. Cara-cara instan memperoleh materi, keturunan, pangkat dan jabatan bisa didapatkan melalui pertukaran perkawinan. Dan anehnya perempuan yang dinikah sirri merasa enak saja dengan status sirri hanya karena dicukupi kebutuhan materi mereka, sehingga menjadi hal yang dilematis dan menjadi faktor penyebab KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) semakin subur di kalangan masyarakat miskin, awam dan terbelakang. Mereka menganggap nikah sirri sebagai takdir yang harus diterima oleh perempuan begitu saja.
Faktor ketidaktahuan ini menyebabkan keterbelakangan masyarakat. Mereka miskin akses invormasi, pendidikan dan ekonomi. Mereka tidak tahu dan tidak mengerti hukum. Mereka tidak sadar hukum dan tidak tahu bagaimana memperoleh perlindungan hukum apabila mengalami kekerasan terhadap anak dan perempuan. Sementara sikap masyarakat masih menganggap, nikah sirri merupakan hak privasi yang tabu diperbincangkan. Masyarakat enggan terlibat terhadap urusan rumah tangga orang. Setelah perempuan menjadi istri simpanan ialah terampasnya hak-hak istri. Istri simpanan rentan dipermainkan oleh laki-laki tidak bertanggung jawab. Contoh, ada kasus mahasiswi pendatang menikah secara sirri, kemudian ditinggal oleh suaminya. Si istri datang ke Pengadilan Agama (PA) dan meminta tolong. Tetapi pihak aparat tidak bisa menolong secara hukum, karena mereka melakukan nikah sirri yang tidak dicatat secara syah oleh hukum. Istri sirri tidak punya kekuatan hukum. Istri sirri tidak memperoleh hak milik berupa harta benda, dan status anak mereka. Nikah sirri tidak diakui oleh hukum. Kasus yang terjadi, ada sebagian istri sirri ditinggalkan begitu saja, ditelantarkan, tidak diberi nafkah dengan cukup, tidak ada kepastian dari suami akan status mereka.
Istri sirri, mudah menerima ketidak-adilan. Misalnya, apabila suami ingin menceraikan istri, maka istri tidak punya kekuatan hukum untuk menggugat. Para perempuan di desa-desa karena keawamannya tidak mengerti hukum agama, hukum negara, sehingga para perempuan tersebut menikah beberapa kali dan bahkan ada yang menikah lagi sebelum masa iddahnya selesai. Dorongan emosi sesaat (impulsive) perempuan mendorong mereka untuk menikah lagi dengan orang lain. Kasus itu tidak sekali tetapi berkali-kali, bahkan sebelum masa iddah sudah menikah sirri dengan laki-laki lain. Ironinya, pihak yang menikahkan adalah orang yang dianggap tokoh atau mereka yang dianggap sesepuh, atau wali hakim.
Anak yang dilahirkan dari pernikahan sirri tersebut rentan dengan kekerasan, kemiskinan yang terus mendera. Anak-anak kurang memperoleh kasih sayang yang utuh dari bapak-ibu. Anak tidak memiliki akta kelahiran, anak sulit diterima secara sosial, anak diacuhkan di lingkungannya dan anak sulit mendaftar ke sekolah negeri karena tidak memiliki akta kelahiran. Akibatnya, anak jadi terlantar dan tidak tumbuh dengan baik.
Ada tujuh kerugian pernikahan sirri bagi anak dan istri yang terjadi di lapangan:
1. Istri tidak bisa menggugat suami, apabila ditinggalkan oleh suami.
2. Penyelesaian kasus gugatan nikah sirri, hanya bisa diselesaikan melalui hukum adat.
3. Pernikahan sirri tidak termasuk perjanjian yang kuat (mitsaqon ghalidha) karena tidak tercatat secara hukum.
4. Apabila memiliki anak, maka anak tersebut tidak memiliki status, seperti akta kelahiran. Karena untuk memperoleh akte kelahiran, disyaratkan adanya akta nikah.
5. Istri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal, seperti tunjangan jasa raharja.
6. Apabila suami sebagai pegawai, maka istri tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pensiun suami.
B. Pandangan Komprehensif Islam
Islam memandang bahwa pernikahan adalah sebuah perjanjian yang agung (mitsaqan ghalidha) yang membawa konsekwensi suci atas pasangan laki-laki dan perempuan. Pernikahan bukan semata untuk melampiaskan nafsu syahwat, tetapi terkandung tujuan mulia untuk menjaga kelestarian generasi manusia. Pernikahan juga merupakan pintu gerbang menuju kehidupan keluarga yang sakinah dan sejahrera. Dalam tinjauan sosiologi, kedudukan keluarga sangat urgen dalam mewarnai kehidupan masyarakat secara umum.
Untuk mencapai tujuan pernikahan itu, diperlukan persyaratan khusus yang harus dipenuhi sebagaimana yang telah disyari’atkan oleh Islam. Pernikahan dianggap sah misalnya, jika dalam pernikahan itu melibatkan wali dan dua orang saksi. Sebagaimana hadis riwayat Ahmad:
لا نكاح الا بولي وشهدي عدل
Kedudukan wali dalam pernikahan sangat urgen, agar perempuan yang hendak menikah mendapat kontrol positif dari pihak keluarga yang secara simbolik-operasional diwakili oleh wali pihak perempuan. Dalam konteks masyarakat Arab saat itu, fungsi wali sangat penting agar perempuan yang hendak menikah mendapat pertimbangan yang matang menyangkut siapa calon suaminya. Wali sebelum menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya secara otomatis akan melakukan penelusuran atas asal-usul dan latar belakang laki-laki yang akan menjadi calon suami perempuan itu. Dan secara timbal balik, wali punya kewajiban pula untuk meminta persetujuan perempuan yang akan dinikahkan, sebagaimana hadis Nabi berikut:
حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ
Pernikahan bagi pasangan laki-laki dan perempuan adalah proses menuju kehidupan sesungguhnya dalam masyarakat yang lebih luas. Setelah mereka menjadi pasangan suami-istri, meraka akan menjalin relasi dan berurusan dengan banyak pihak sebagai konsekwensi atas kedudukan mereka sebagai bagian dari anggota masyarakat. Semakin modern masyarakat, akan lebih banyak mensyaratkan sebuah relasi antara keluarga dan masyarakat secara prosedural-administratif. Pencatatan pernikahan adalah manifestasi prosedur-administratif yang dijalankan untuk sebuah tertib masyarakat. Dengan tercatat, maka akan ada data penting menyangkut status seorang warga sehingga berbagai penyelewengan status dapat dieliminasi.
Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, adalah hukum positif yang mengatur proses pernikahan di Indonesia. Di samping segala persyaratan formil sebagaimana yang telah disyari’atkan Islam, ada ketentuan tambahan yang terdapat dalam undang-undang itu yang mengatur secara administratif sebuah proses pernikahan, yaitu pencatatan pernikahan oleh institusi pencatat nikah (KUA, Kantor Urusan Agama). Diharapkan dengan pernikahan yang tercatat dan terdata, akan lebih memudahkan kontrol terhadap pelaksanaan syari’at dalam pernikahan warga masyarakat. Hak perempuan dan anak akan lebih terjamin dalam sebuah pernikahan yang legal secara hukum (baik hukum Islam maupun hukum nasional).
Pernikahan yang tercatat (sesuai dengan UU no. 1 tahun 1974 dan PP no. 9 tahun 1975) sesuai dengan semangat kemashlahatan yang menjadi landasan syari’at Islam. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh ulama Usûl fiqh, setiap hukum (Syarî’at) itu terkandung kemaslahatan bagi hamba Allah (manusia), baik kemaslahatan itu bersifat duniawi maupun ukhrawi.
Maslahat menurut Abdullah Abd al-Muhsin az-Zaki, adalah suatu ketentuan yang dalam merumuskan hukum dengan menarik manfaat dan menolak mafsadat dari manusia. Sedangkan al-Khawârizmi mendefinisikan mendefinisikan maslahat adalah memelihara maqâsid asy-syarî’ah dengan menolak mafsadat dari umat. Al-Buti memandang memandang maslahat adalah suatu manfaat yang dikehendaki oleh syari’ untuk hamba-Nya dengan memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Asy-Syâtibî mendifinisikan maslahat sesuatu yang merujuk atau dikembalikan kepada tegaknya kehidupan manusia.
Dalam hal ini Asy-Syâtibî menandaskan bahwa Syarî’at diberlakukan adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akherat. Dengan demikian orang yang meneliti hukum (Syarî’at) akan menemukan bahwa tujuan dan permasalahan hukum adalah memelihara kehidupan masyarakat dan mewujudkan kemaslahatannya dengan meraih manfaat dan menghilangkan mafsadat.
Sebagaimana telah disampaikan di muka, bahwa secara sosiologis, nikah sirri banyak mengandung persoalan (mafsadat/mudharat). Sehingga dalam perspektif syari’at, nikah sirri, walaupun sah secara fiqhiyah, tetapi perlu dihindari.
Meski sebagian orang menganggap nikah sirri adalah sah karena sesuai dengan agama tapi tidak dicatatkan di KUA, namun tetap dalam masalah ini masih ada yang kurang. Karena nikah siri ternyata paling tidak sebagian dilakukan diam-diam, seolah-olah aib yang tidak ingin diketahui. Biasanya hal ini terjadi untuk menutupi keberadaan atau status orang yang akan melakukan nikah sirri.
Nikah adalah peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Sesuatu yang sebelumya haram bagi dia, berubah menjadi halal dengan sarana pernikahan. Implikasi pernikahan pun besar, luas dan beragam. Pernikahan adalah sarana awal mewujudkan sebuah tatanan masyarakat. Jika unit-unit keluarga baik dan berkualitas, maka bisa dipastikan bangunan masyarakat yang diwujudkan akan kokoh dan baik. Oleh karean itu, Nabi mengajarkan umatnya untuk menikah:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْأَزْهَرِ حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ مَيْمُونٍ عَنِ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي وَتَزَوَّجُوا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ
Karena sifatnya yang menjangkau kehidupan luas di luar keluarga, pernikahan memiliki makna sangat strategis dalam kehidupan sebuah bangsa. Dalam konteks ini, pemerintah menjadi berkepentingan untuk mengatur institusi pernikahan, agar tatanan masyarakat yang teratur dan tentram bisa diwujudkan. Undang-Undang no. 1 tahun 1974 adalah bentuk kongkret pengaturan pemerintah soal pernikahan.
Dalam pasal 2 ayat 2 Undang-Undang I ini tertulis: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku”. Ketentuan ini lebih lanjut diperjelas dalam Bab 11 Peraturan Pemerintah (PP) no. 9 tahun 1975 yang intinya: sebuah pernikahan baru diangap memiliki kekuatan hukum di hadapan undang-undang jika dilaksanakan menurut aturan agama dan telah dicatatkan oleh pegawa pencatat pernikahan yang ditentukan undang-undang. Aturan inilah yang akhirnya menimbulkan istilah yang disebut: nikah sirri.
Nikah sirri menurut hukum Islam – berdasarkan penelusuran dalil secara tekstual - adalah sah apabila memenuhi rukun dan semua syarat sahnya nikah meskipun tidak dicatatkan. Karena syariat Islam dalam Al-Quran maupun Sunnah tidak mengatur secara konkrit tentang adanya pencatatan perkawinan. Sedangkan menurut hukum positif, nikah sirri ini tidak sah karena tidak memenuhi salah satu syarat sah perkawinan yaitu pencatatan perkawinan kepada Pejabat Pencatat Nikah. Tanpa adanya pencatatan, maka pernikahan itu tidak mempunyai akta otentik yang berupa buku nikah.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Ahkamu al-Zawaj, menyatakan bahwa nikah sirri adalah apabila laki-laki menikahi perempuan tanpa wali dan saksi-saksi, serta merahasiakan pernikahannya. Sehingga langsung dapat sisimpulkan, bahwa pernikahan ini bathil menurut jumhur ulama.
Wahbah Zuhaili menyatakan bahwa nikah sirri –seperti yang didefinisikan dalam fiqh- yakni nikah yang dirahasiakan dan hanya diketahui oleh pihak yang terkait dengan akad. Pada akad ini dua saksi, wali dan kedua mempelai diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, dan tidak seorangpun dari mereka diperbolehkan menceritakan akad tersebut kepada orang lain.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, sebenarnya nikah sirri mempunyi beberapa devinisi, diantaranya adalah:
1. Pernikahan yang dipandang sah dari segi agama (Islam), namun tidak didaftarkan ke KUA (selaku lembaga perwakilan negara dalam bidang pernikahan).
2. Pernikahan yang dilakukan tanpa kehadiran wali dari pihak perempuan (catatan: laki-laki memerlukan wali pada saat pernikahan).
3. Pernikahan yang sah dilakukan baik oleh agama maupun secara negara (juga tercatat di KUA), namun tidak disebarluaskan (tidak diadakan walimah/resepsi).
Nikah sirri yang dimaksud dalam pembahasan ini bukanlah seperti yang dinyatakan Ibn Taimiyah atau Wahbah Huzaili, akan tetapi merupakan praktek pernikahan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Muslim Indonesia yaitu pernikahan yang dilakukan sesuai syarat dan rukun nikah menurut ajaran Islam, namun tidak didaftarkan ke KUA (selaku lembaga perwakilan negara dalam bidang pernikahan). Nikah Sirri dalam satu sisi mengandung beberapa kemudharatan, tetapi dalam sisi lain banyak dipraktekkan oleh kalangan Muslim Indonesia dengan segala variannya. Pada titik inilah maka nikah sirri perlu dikaji secara komprehensif, tidak semata-mata dengan pendekatan tekstual-normatif tetapi perlu dipertimbangkan aspek-aspek kultural-sosiologisnya.
A. Problem Sosiologis Nikah Sirri
Berdasarkan analisis atas kenyataan yang ada di lapangan, penyebab maraknya nikah sirri adalah dikarenakan ketidaktahuan masyarakat terhadap dampak pernikahan sirri. Masyarakat miskin hanya bisa berpikir jangka pendek, yaitu terpenuhi kebutuhan ekonomi secara mudah dan cepat. Sebagian yang lain mempercayai, bahwa istri simpanan kiai, tokoh dan pejabat mempercepat perolehan status sebagai istri terpandang di masyarakat, kebutuhannya tercukupi dan bisa memperbaiki keturunan mereka. Keyakinan itu begitu dalam berpatri dan mengakar di masyarakat. Cara-cara instan memperoleh materi, keturunan, pangkat dan jabatan bisa didapatkan melalui pertukaran perkawinan. Dan anehnya perempuan yang dinikah sirri merasa enak saja dengan status sirri hanya karena dicukupi kebutuhan materi mereka, sehingga menjadi hal yang dilematis dan menjadi faktor penyebab KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) semakin subur di kalangan masyarakat miskin, awam dan terbelakang. Mereka menganggap nikah sirri sebagai takdir yang harus diterima oleh perempuan begitu saja.
Faktor ketidaktahuan ini menyebabkan keterbelakangan masyarakat. Mereka miskin akses invormasi, pendidikan dan ekonomi. Mereka tidak tahu dan tidak mengerti hukum. Mereka tidak sadar hukum dan tidak tahu bagaimana memperoleh perlindungan hukum apabila mengalami kekerasan terhadap anak dan perempuan. Sementara sikap masyarakat masih menganggap, nikah sirri merupakan hak privasi yang tabu diperbincangkan. Masyarakat enggan terlibat terhadap urusan rumah tangga orang. Setelah perempuan menjadi istri simpanan ialah terampasnya hak-hak istri. Istri simpanan rentan dipermainkan oleh laki-laki tidak bertanggung jawab. Contoh, ada kasus mahasiswi pendatang menikah secara sirri, kemudian ditinggal oleh suaminya. Si istri datang ke Pengadilan Agama (PA) dan meminta tolong. Tetapi pihak aparat tidak bisa menolong secara hukum, karena mereka melakukan nikah sirri yang tidak dicatat secara syah oleh hukum. Istri sirri tidak punya kekuatan hukum. Istri sirri tidak memperoleh hak milik berupa harta benda, dan status anak mereka. Nikah sirri tidak diakui oleh hukum. Kasus yang terjadi, ada sebagian istri sirri ditinggalkan begitu saja, ditelantarkan, tidak diberi nafkah dengan cukup, tidak ada kepastian dari suami akan status mereka.
Istri sirri, mudah menerima ketidak-adilan. Misalnya, apabila suami ingin menceraikan istri, maka istri tidak punya kekuatan hukum untuk menggugat. Para perempuan di desa-desa karena keawamannya tidak mengerti hukum agama, hukum negara, sehingga para perempuan tersebut menikah beberapa kali dan bahkan ada yang menikah lagi sebelum masa iddahnya selesai. Dorongan emosi sesaat (impulsive) perempuan mendorong mereka untuk menikah lagi dengan orang lain. Kasus itu tidak sekali tetapi berkali-kali, bahkan sebelum masa iddah sudah menikah sirri dengan laki-laki lain. Ironinya, pihak yang menikahkan adalah orang yang dianggap tokoh atau mereka yang dianggap sesepuh, atau wali hakim.
Anak yang dilahirkan dari pernikahan sirri tersebut rentan dengan kekerasan, kemiskinan yang terus mendera. Anak-anak kurang memperoleh kasih sayang yang utuh dari bapak-ibu. Anak tidak memiliki akta kelahiran, anak sulit diterima secara sosial, anak diacuhkan di lingkungannya dan anak sulit mendaftar ke sekolah negeri karena tidak memiliki akta kelahiran. Akibatnya, anak jadi terlantar dan tidak tumbuh dengan baik.
Ada tujuh kerugian pernikahan sirri bagi anak dan istri yang terjadi di lapangan:
1. Istri tidak bisa menggugat suami, apabila ditinggalkan oleh suami.
2. Penyelesaian kasus gugatan nikah sirri, hanya bisa diselesaikan melalui hukum adat.
3. Pernikahan sirri tidak termasuk perjanjian yang kuat (mitsaqon ghalidha) karena tidak tercatat secara hukum.
4. Apabila memiliki anak, maka anak tersebut tidak memiliki status, seperti akta kelahiran. Karena untuk memperoleh akte kelahiran, disyaratkan adanya akta nikah.
5. Istri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal, seperti tunjangan jasa raharja.
6. Apabila suami sebagai pegawai, maka istri tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pensiun suami.
B. Pandangan Komprehensif Islam
Islam memandang bahwa pernikahan adalah sebuah perjanjian yang agung (mitsaqan ghalidha) yang membawa konsekwensi suci atas pasangan laki-laki dan perempuan. Pernikahan bukan semata untuk melampiaskan nafsu syahwat, tetapi terkandung tujuan mulia untuk menjaga kelestarian generasi manusia. Pernikahan juga merupakan pintu gerbang menuju kehidupan keluarga yang sakinah dan sejahrera. Dalam tinjauan sosiologi, kedudukan keluarga sangat urgen dalam mewarnai kehidupan masyarakat secara umum.
Untuk mencapai tujuan pernikahan itu, diperlukan persyaratan khusus yang harus dipenuhi sebagaimana yang telah disyari’atkan oleh Islam. Pernikahan dianggap sah misalnya, jika dalam pernikahan itu melibatkan wali dan dua orang saksi. Sebagaimana hadis riwayat Ahmad:
لا نكاح الا بولي وشهدي عدل
Kedudukan wali dalam pernikahan sangat urgen, agar perempuan yang hendak menikah mendapat kontrol positif dari pihak keluarga yang secara simbolik-operasional diwakili oleh wali pihak perempuan. Dalam konteks masyarakat Arab saat itu, fungsi wali sangat penting agar perempuan yang hendak menikah mendapat pertimbangan yang matang menyangkut siapa calon suaminya. Wali sebelum menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya secara otomatis akan melakukan penelusuran atas asal-usul dan latar belakang laki-laki yang akan menjadi calon suami perempuan itu. Dan secara timbal balik, wali punya kewajiban pula untuk meminta persetujuan perempuan yang akan dinikahkan, sebagaimana hadis Nabi berikut:
حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ
Pernikahan bagi pasangan laki-laki dan perempuan adalah proses menuju kehidupan sesungguhnya dalam masyarakat yang lebih luas. Setelah mereka menjadi pasangan suami-istri, meraka akan menjalin relasi dan berurusan dengan banyak pihak sebagai konsekwensi atas kedudukan mereka sebagai bagian dari anggota masyarakat. Semakin modern masyarakat, akan lebih banyak mensyaratkan sebuah relasi antara keluarga dan masyarakat secara prosedural-administratif. Pencatatan pernikahan adalah manifestasi prosedur-administratif yang dijalankan untuk sebuah tertib masyarakat. Dengan tercatat, maka akan ada data penting menyangkut status seorang warga sehingga berbagai penyelewengan status dapat dieliminasi.
Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, adalah hukum positif yang mengatur proses pernikahan di Indonesia. Di samping segala persyaratan formil sebagaimana yang telah disyari’atkan Islam, ada ketentuan tambahan yang terdapat dalam undang-undang itu yang mengatur secara administratif sebuah proses pernikahan, yaitu pencatatan pernikahan oleh institusi pencatat nikah (KUA, Kantor Urusan Agama). Diharapkan dengan pernikahan yang tercatat dan terdata, akan lebih memudahkan kontrol terhadap pelaksanaan syari’at dalam pernikahan warga masyarakat. Hak perempuan dan anak akan lebih terjamin dalam sebuah pernikahan yang legal secara hukum (baik hukum Islam maupun hukum nasional).
Pernikahan yang tercatat (sesuai dengan UU no. 1 tahun 1974 dan PP no. 9 tahun 1975) sesuai dengan semangat kemashlahatan yang menjadi landasan syari’at Islam. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh ulama Usûl fiqh, setiap hukum (Syarî’at) itu terkandung kemaslahatan bagi hamba Allah (manusia), baik kemaslahatan itu bersifat duniawi maupun ukhrawi.
Maslahat menurut Abdullah Abd al-Muhsin az-Zaki, adalah suatu ketentuan yang dalam merumuskan hukum dengan menarik manfaat dan menolak mafsadat dari manusia. Sedangkan al-Khawârizmi mendefinisikan mendefinisikan maslahat adalah memelihara maqâsid asy-syarî’ah dengan menolak mafsadat dari umat. Al-Buti memandang memandang maslahat adalah suatu manfaat yang dikehendaki oleh syari’ untuk hamba-Nya dengan memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Asy-Syâtibî mendifinisikan maslahat sesuatu yang merujuk atau dikembalikan kepada tegaknya kehidupan manusia.
Dalam hal ini Asy-Syâtibî menandaskan bahwa Syarî’at diberlakukan adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akherat. Dengan demikian orang yang meneliti hukum (Syarî’at) akan menemukan bahwa tujuan dan permasalahan hukum adalah memelihara kehidupan masyarakat dan mewujudkan kemaslahatannya dengan meraih manfaat dan menghilangkan mafsadat.
Sebagaimana telah disampaikan di muka, bahwa secara sosiologis, nikah sirri banyak mengandung persoalan (mafsadat/mudharat). Sehingga dalam perspektif syari’at, nikah sirri, walaupun sah secara fiqhiyah, tetapi perlu dihindari.
0 komentar:
Posting Komentar