PERKAWINAN CAMPURAN
Jumat, 04 Desember 2009
PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT PERSPEKTIF ISLAM
A. Perkawinan Campuran menurut Pandangan Agama (Islam)
Fenomena perkawinan beda agama atau perkawinan campuran telah menjadi suatu hal yang biasa dalam kehidupan kita sekarang. Hal tersebut terjadi karena aspek cinta yang lebih dikedepankan dibandingkan aspek yang lebih utama dari perkawinan itu sendiri. Cinta seolah-olah menjadi satu-satunya dasar adanya perkawinan tersebut. Orang yang melakukan campuran atau beda agama beranggapan bahwa masalah agama adalah urusan pribadi masing-masing, yang paling penting di antara mereka terdapat rasa saling mencintai.
Dalam agama Islam, masalah perkawinan yang terangkum dalam hukum munakahat, diajarkan bahwa perkawinan (pernikahan) yang dibenarkan oleh Allah SWT adalah suatu perkawinan yang didasarkan pada satu akidah, di samping cinta dan ketulusan hati dari keduanya. Dengan landasan dan naungan keterpaduan itu, kehidupan suami-istri akan tenteram, penuh rasa cinta dan kasih sayang. Keluarga mereka akan bahagia dan kelak memperoleh keturunan yang sejahtera lahir batin.
Suatu kehidupan rumah tangga seperti yang digambarkan di atas akan apat terwujud manakala antara suami dan istri memiliki keyakinan agama yang sama, sebab dengan keyakinan yang sama, mereka akan teguh untuk melaksanakan satu ajaran agama yaitu Islam. Tetapi sebaliknya, jika suami-istri berbeda agama maka akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, misalnya dalam hal pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan tatakrama makan/minum, pembinaan tradisi keagamaan, dan lain sebagainya.
Agama Islam secara tegas melarang seorang wanita Islam kawin dengan seorang pria non-Muslim, baik musyrik maupun Ahlulkitab. Dan seorang pria Islam secara pasti dilarang menikahi seorang wanita musyrik. Kedua bentuk perkawinan tersebut mutlak diharamkan. Mengapa? Karena pernikahan yang berlanjut kepada lembaga keluarga bisa menjadi institusi penting dan strategis untuk memindahkan dan menanamkan nilai-nilai agama yang diyakini kebenarannya. Banyaknya kasus murtad atau pemurtadan antara lain melalui perkawinan beda agama. Adapun yang menjadi persoalan sejak zaman sahabat Rasulullah hingga abad modern ini adalah perkawinan antarpria Islam dengan wanita Ahlulkitab atau Kitabiyah. Berdasarkan zahir ayat 221 pada Surat Al-Baqarah/2, menurut pandangan kebanyakan ulama, pernikahan seorang Muslim dengan Kitabiyah diperbolehkan. Namun sebagian ulama mengharamkannya atas dasar sikap musyrik Kitabiyah. Dan masih banyak sekali ulama yang melarang sebab pada akhirnya kelak fitnah atau mafsadat dari bentuk perkawinan tersebut akan sangat mudah sekali muncul.
Untuk lebih jelasnya tentang perkawinan campuran ini, di bawah ini akan diungkapkan beberapa pandangan ulama mengenai beberapa teks ayat atau hadis Nabi Muhammad saw; Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang berkenaan dengan masalah perkawinan campuran.
Pandangan ulama di antaranya :
Adapun dasar keharamannya mengawini seorang wanita Kitabiyah yang sudah menyimpang oleh karena kemusyrikan mereka. Firman Allah, "Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka telah mempertuhankan) Al-Masih Putra Maryam padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa (Allah). Tidak ada Tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan" (Q.S. At-Taubah/9:31). Dengan demikian, seorang wanita musyrik haram dikawini oleh seorang pria Islam.
Yusuf Al-Qardlawi berpendapat bahwa kebolehan nikah dengan Kitabiyah tidak mutlak, tetapi dengan ikatan-ikatan (quyud) yang wajib untuk diperhatikan, yaitu, (1) Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi. Tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama samawi; (2) Wanita Kitabiyah yang muhshanah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina); (3) Ia bukan Kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum Muslimin.
Untuk itulah perlu dibedakan antara kitabiyah dzimmiyah dan harbiyah. Dzimmiyah boleh, harbiyah dilarang dikawini; (4) Di balik perkawinan dengan Kitabiyah itu tidak akan terjadi fitnah, yaitu mafsadat atau kemurtadan. Makin besar kemungkinan terjadinya kemurtadan makin besar tingkat larangan dan keharamannya. Nabi Muhammad saw. pernah menyatakan, "La dharara wa la dhirara (tidak bahaya dan tidak membahayakan”)
Dalam pandangan Qardlawi selanjutnya, dia menyatakan beberapa kemurtadan (keburukan) yang akan terjadi manakala kawin dengan wanita non-Muslim: (1) Akan berpengaruh kepada perimbangan antara wanita Islam dengan laki-laki Muslim. Akan lebih banyak wanita Islam yang tidak kawin dengan laki-laki Muslim yang belum kawin. Sementara itu poligami diperketat dan malah laki-laki yang kawin dengan wanita Nasrani sesuai dengan ajaran agamanya serta tidak mungkin menyetujui suaminya berpoligami; (2) Suami mungkin terpengaruh oleh agama istrinya. Demikian pula anak-anaknya. Bila hal ini terjadi maka fitnah benar-benar menjadi kenyataan, dan (3) Perkawinan dengan non-Muslimah akan menimbulkan kesulitan hubungan suami istri dan kelangsungan pendidikan anak-anaknya. Lebih-lebih jika laki-laki Muslim dan Kitabiyah berbeda tanah air, bahasa dan budaya.
Sedangkan dalam Alquran dan tafsirnya, kelompok penerjemah dan penafsir Departemen Agama Republik Indonesia menyampaikan suatu pandangan bahwa, "Dihalalkan bagi laki-laki mukmin mengawini perempuan Ahlulkitab dan tidak dihalalkan mengawini perempuan kafir lainnya. Dan tidak dihalalkan bagi perempuan-perempuan mukmin kawin dengan laki-laki Ahlulkitab dan laki-laki lainnya".
B. Perkawinan Campuran Menurut UU Perkawinan
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 mengenai perkawinan seperti disebut pada Pasal 66 UUP, maka semua ketentuan-ketentua perkawinan terdahulu seperti GHR, HOCI dan Hukum Perdata Barat (Burgelijk Wetboek) serta peraturan perkawinan lainnya sepanjang telah diatur dalam undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 2 (1) UUP berbunyi, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Di dalam penjelasan UUP itu dinyatakan bahwa, "Dengan perumusan Pasal 2 (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945". Prof. Dr. Hazairin, S.H. secara tegas menafsirkan pasal 2 (1), "Bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum-hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang Hindu atau Hindu-Buddha seperti dijumpai di Indonesia".
Perkawinan campuran karena berbeda agama selalu hangat dan pelik untuk dibicarakan karena itu berhubungan dengan akidah dan hukum. Dalam bukunya, Rusli (1984) menyatakan bahwa "perkawinan antaragama tersebut merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita yang berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Oleh karena itu, di kalangan para ahli dan praktisi hukum, kita jumpai ada tiga mazhab yang berbeda dalam memandang Undang-undang Perkawinan bila dihubungkan dengan perkawinan antardua orang yang berbeda agama. Mazhab pertama mengatakan bahwa perkawinan antaragama merupakan pelanggaran terhadap undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf (f), di mana pasal tersebut berbunyi, "Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin".
Mazhab kedua berpendapat bahwa perkawinan antaragama adalah sah dan dapat dilangsungkan karena telah tercakup dalam perkawinan campuran. Sehingga pendukung mazhab ini berargumen bahwa Pasal 57 yang mengatur tentang perkawinan campuran menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Karena itu, pasal ini tidak saja mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan melainkan juga antara dua orang yang berbeda agama. Dan untuk pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran (GHR).
Sedangkan mazhab ketiga menyatakan bahwa perkawinan antaragama sama sekali tidak diatur dalam UUP nomor 1 tahun 1974 dengan anggapan bahwa peraturan-peraturan lama sepanjang Undang-undang itu belum mengatur masih dapat diberlakukan. Dengan demikian untuk persoalan perkawinan antaragama haruslah merujuk kepada Peraturan Perkawinan Campuran.
Dari ketiga mazhab di atas maka disimpulkan bahwa sebaiknya penentuan boleh tidaknya perkawinan antarorang yang berbeda agama sehingga lebih baik, aman dan tidak menimbulkan masalah haruslah dikembalikan pada hukum agama. Artinya, bila hukum agama menyatakan sebuah perkawinan dikatakan boleh atau tidak, maka seharusnya hukum negara mengikutinya. Jadi, untuk perkawinan antaragama, penentuan boleh tidaknya bergantung pada hukum agama dan seluruh pemeluk agamanya wajib menaatinya.
Merujuk pada Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 (1) jo. 8 (f) terhadap beberapa hal di atas, maka cenderung menyerahkan sepenuhnya kepada hukum agama masing-masing pihak untuk menentukan diperbolehkan atau dilarangnya perkawinan antaragama. Untuk itulah maka agama-agama selain Islam yang diakui eksistensinya di Indonesia memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Oleh karena, (1) Agama Katholik pada prinsipnya melarang dilakukannya perkawinan antaragama, kecuali dalam hal-hal tertentu Uskup dapat memberikan dispensasi untuk melakukan perkawinan antaragama; (2) Agama Protestan membolehkan dilakukannya perkawinan antaragama dengan syarat bahwa pihak yang bukan Protestan harus membuat surat pernyataan tidak berkeberatan perkawinannya dilangsungkan di gereja Protestan, dan (3) Agama Hindu dan Buddha melarang dilakukannya perkawinan antaragama.
Fenomena perkawinan beda agama atau perkawinan campuran telah menjadi suatu hal yang biasa dalam kehidupan kita sekarang. Hal tersebut terjadi karena aspek cinta yang lebih dikedepankan dibandingkan aspek yang lebih utama dari perkawinan itu sendiri. Cinta seolah-olah menjadi satu-satunya dasar adanya perkawinan tersebut. Orang yang melakukan campuran atau beda agama beranggapan bahwa masalah agama adalah urusan pribadi masing-masing, yang paling penting di antara mereka terdapat rasa saling mencintai.
Dalam agama Islam, masalah perkawinan yang terangkum dalam hukum munakahat, diajarkan bahwa perkawinan (pernikahan) yang dibenarkan oleh Allah SWT adalah suatu perkawinan yang didasarkan pada satu akidah, di samping cinta dan ketulusan hati dari keduanya. Dengan landasan dan naungan keterpaduan itu, kehidupan suami-istri akan tenteram, penuh rasa cinta dan kasih sayang. Keluarga mereka akan bahagia dan kelak memperoleh keturunan yang sejahtera lahir batin.
Suatu kehidupan rumah tangga seperti yang digambarkan di atas akan apat terwujud manakala antara suami dan istri memiliki keyakinan agama yang sama, sebab dengan keyakinan yang sama, mereka akan teguh untuk melaksanakan satu ajaran agama yaitu Islam. Tetapi sebaliknya, jika suami-istri berbeda agama maka akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, misalnya dalam hal pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan tatakrama makan/minum, pembinaan tradisi keagamaan, dan lain sebagainya.
Agama Islam secara tegas melarang seorang wanita Islam kawin dengan seorang pria non-Muslim, baik musyrik maupun Ahlulkitab. Dan seorang pria Islam secara pasti dilarang menikahi seorang wanita musyrik. Kedua bentuk perkawinan tersebut mutlak diharamkan. Mengapa? Karena pernikahan yang berlanjut kepada lembaga keluarga bisa menjadi institusi penting dan strategis untuk memindahkan dan menanamkan nilai-nilai agama yang diyakini kebenarannya. Banyaknya kasus murtad atau pemurtadan antara lain melalui perkawinan beda agama. Adapun yang menjadi persoalan sejak zaman sahabat Rasulullah hingga abad modern ini adalah perkawinan antarpria Islam dengan wanita Ahlulkitab atau Kitabiyah. Berdasarkan zahir ayat 221 pada Surat Al-Baqarah/2, menurut pandangan kebanyakan ulama, pernikahan seorang Muslim dengan Kitabiyah diperbolehkan. Namun sebagian ulama mengharamkannya atas dasar sikap musyrik Kitabiyah. Dan masih banyak sekali ulama yang melarang sebab pada akhirnya kelak fitnah atau mafsadat dari bentuk perkawinan tersebut akan sangat mudah sekali muncul.
Untuk lebih jelasnya tentang perkawinan campuran ini, di bawah ini akan diungkapkan beberapa pandangan ulama mengenai beberapa teks ayat atau hadis Nabi Muhammad saw; Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang berkenaan dengan masalah perkawinan campuran.
Pandangan ulama di antaranya :
- Wanita Islam dengan pria bukan Islam. Seluruh ulama sejak zaman sahabat hingga abad modern ini sepakat bahwa wanita Islam haram hukumnya kawin dengan pria bukan Islam. Dasar keharamannya termaktub di dalam Alquran Surah Al-Baqarah/2:221. "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu". Firman Allah di atas menegaskan kepada para wali untuk tidak menikahkan wanita Islam dengan laki-laki bukan Islam. Keharamannya bersifat mutlak, artinya wanita Islam mutlak haram kawin dengan laki-laki selain Islam baik laki-laki musyrik atau Ahlulkitab. Dengan begitu dapat ditegaskan bahwa satu syarat sahnya perkawinan seorang wanita Islam ialah pasangannya harus pria Islam.
- Pria Islam dengan wanita bukan Islam. Dalam kitabnya, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Ali Al-Sayis menjelaskan makna muhshanat dalam ayat 5 Surat Al-Maidah (5), "Wanita-wanita yang menjaga kehormatan (al-muhshanat) di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab" adalah wanita yang merdeka (bukan hamba sahaya).
Adapun dasar keharamannya mengawini seorang wanita Kitabiyah yang sudah menyimpang oleh karena kemusyrikan mereka. Firman Allah, "Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka telah mempertuhankan) Al-Masih Putra Maryam padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa (Allah). Tidak ada Tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan" (Q.S. At-Taubah/9:31). Dengan demikian, seorang wanita musyrik haram dikawini oleh seorang pria Islam.
Yusuf Al-Qardlawi berpendapat bahwa kebolehan nikah dengan Kitabiyah tidak mutlak, tetapi dengan ikatan-ikatan (quyud) yang wajib untuk diperhatikan, yaitu, (1) Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi. Tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama samawi; (2) Wanita Kitabiyah yang muhshanah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina); (3) Ia bukan Kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum Muslimin.
Untuk itulah perlu dibedakan antara kitabiyah dzimmiyah dan harbiyah. Dzimmiyah boleh, harbiyah dilarang dikawini; (4) Di balik perkawinan dengan Kitabiyah itu tidak akan terjadi fitnah, yaitu mafsadat atau kemurtadan. Makin besar kemungkinan terjadinya kemurtadan makin besar tingkat larangan dan keharamannya. Nabi Muhammad saw. pernah menyatakan, "La dharara wa la dhirara (tidak bahaya dan tidak membahayakan”)
Dalam pandangan Qardlawi selanjutnya, dia menyatakan beberapa kemurtadan (keburukan) yang akan terjadi manakala kawin dengan wanita non-Muslim: (1) Akan berpengaruh kepada perimbangan antara wanita Islam dengan laki-laki Muslim. Akan lebih banyak wanita Islam yang tidak kawin dengan laki-laki Muslim yang belum kawin. Sementara itu poligami diperketat dan malah laki-laki yang kawin dengan wanita Nasrani sesuai dengan ajaran agamanya serta tidak mungkin menyetujui suaminya berpoligami; (2) Suami mungkin terpengaruh oleh agama istrinya. Demikian pula anak-anaknya. Bila hal ini terjadi maka fitnah benar-benar menjadi kenyataan, dan (3) Perkawinan dengan non-Muslimah akan menimbulkan kesulitan hubungan suami istri dan kelangsungan pendidikan anak-anaknya. Lebih-lebih jika laki-laki Muslim dan Kitabiyah berbeda tanah air, bahasa dan budaya.
Sedangkan dalam Alquran dan tafsirnya, kelompok penerjemah dan penafsir Departemen Agama Republik Indonesia menyampaikan suatu pandangan bahwa, "Dihalalkan bagi laki-laki mukmin mengawini perempuan Ahlulkitab dan tidak dihalalkan mengawini perempuan kafir lainnya. Dan tidak dihalalkan bagi perempuan-perempuan mukmin kawin dengan laki-laki Ahlulkitab dan laki-laki lainnya".
B. Perkawinan Campuran Menurut UU Perkawinan
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 mengenai perkawinan seperti disebut pada Pasal 66 UUP, maka semua ketentuan-ketentua perkawinan terdahulu seperti GHR, HOCI dan Hukum Perdata Barat (Burgelijk Wetboek) serta peraturan perkawinan lainnya sepanjang telah diatur dalam undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 2 (1) UUP berbunyi, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Di dalam penjelasan UUP itu dinyatakan bahwa, "Dengan perumusan Pasal 2 (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945". Prof. Dr. Hazairin, S.H. secara tegas menafsirkan pasal 2 (1), "Bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum-hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang Hindu atau Hindu-Buddha seperti dijumpai di Indonesia".
Perkawinan campuran karena berbeda agama selalu hangat dan pelik untuk dibicarakan karena itu berhubungan dengan akidah dan hukum. Dalam bukunya, Rusli (1984) menyatakan bahwa "perkawinan antaragama tersebut merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita yang berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Oleh karena itu, di kalangan para ahli dan praktisi hukum, kita jumpai ada tiga mazhab yang berbeda dalam memandang Undang-undang Perkawinan bila dihubungkan dengan perkawinan antardua orang yang berbeda agama. Mazhab pertama mengatakan bahwa perkawinan antaragama merupakan pelanggaran terhadap undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf (f), di mana pasal tersebut berbunyi, "Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin".
Mazhab kedua berpendapat bahwa perkawinan antaragama adalah sah dan dapat dilangsungkan karena telah tercakup dalam perkawinan campuran. Sehingga pendukung mazhab ini berargumen bahwa Pasal 57 yang mengatur tentang perkawinan campuran menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Karena itu, pasal ini tidak saja mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan melainkan juga antara dua orang yang berbeda agama. Dan untuk pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran (GHR).
Sedangkan mazhab ketiga menyatakan bahwa perkawinan antaragama sama sekali tidak diatur dalam UUP nomor 1 tahun 1974 dengan anggapan bahwa peraturan-peraturan lama sepanjang Undang-undang itu belum mengatur masih dapat diberlakukan. Dengan demikian untuk persoalan perkawinan antaragama haruslah merujuk kepada Peraturan Perkawinan Campuran.
Dari ketiga mazhab di atas maka disimpulkan bahwa sebaiknya penentuan boleh tidaknya perkawinan antarorang yang berbeda agama sehingga lebih baik, aman dan tidak menimbulkan masalah haruslah dikembalikan pada hukum agama. Artinya, bila hukum agama menyatakan sebuah perkawinan dikatakan boleh atau tidak, maka seharusnya hukum negara mengikutinya. Jadi, untuk perkawinan antaragama, penentuan boleh tidaknya bergantung pada hukum agama dan seluruh pemeluk agamanya wajib menaatinya.
Merujuk pada Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 (1) jo. 8 (f) terhadap beberapa hal di atas, maka cenderung menyerahkan sepenuhnya kepada hukum agama masing-masing pihak untuk menentukan diperbolehkan atau dilarangnya perkawinan antaragama. Untuk itulah maka agama-agama selain Islam yang diakui eksistensinya di Indonesia memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Oleh karena, (1) Agama Katholik pada prinsipnya melarang dilakukannya perkawinan antaragama, kecuali dalam hal-hal tertentu Uskup dapat memberikan dispensasi untuk melakukan perkawinan antaragama; (2) Agama Protestan membolehkan dilakukannya perkawinan antaragama dengan syarat bahwa pihak yang bukan Protestan harus membuat surat pernyataan tidak berkeberatan perkawinannya dilangsungkan di gereja Protestan, dan (3) Agama Hindu dan Buddha melarang dilakukannya perkawinan antaragama.
0 komentar:
Posting Komentar